Kekasih pergi dan hati yang tersisa. Kira-kira seperti itu keadaan Hani saat ini. Dia duduk di pinggir jalan sambil mengamati kendaraan yang berlalu lalang sambil menangis dan bergumam, “Pecinta itu, nama kekasihnya tak hilang dari hatinya.”
Selama ini Hani memendam perasaan kepada seseorang. Ia hanya mampu berharap seseorang itu peka terhadapnya. Tapi takdir berkata lain saat dia mengetahui seseorang yang selama ini dia sebut namanya setiap sepertiga malam akan dijodohkan dengan sahabatnya sendiri.
“Kalau kata Kahlil Gibran, kadang kala orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu karena takut kau berpaling dan memberi jarak,” ucap seseorang dengan nada halus.
Hani menoleh, mencari seseorang yang mengatakan itu. Dia terkejut saat ada sosok kaum Adam yang duduk di sampingnya.
“Mmmm.. Tadi kamu yang ngomong?” tanya Hani ragu sambil mengusap air matanya.
“Hahaha... Ternyata Hani-ku sudah besar. Sudah bisa merasakan cinta. Kau pasti nangis karena cinta bukan ?” ledek Faris, teman kecilnya. Lalu ia melangkah dan duduk di samping Hani.
“Nggak, aku nggak nangis karena cinta. Aku nggakpapa,” elak Hani.
“Heleh, dasar wanita, berusaha berbohong untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Selalu bersikap baik-baik saja padahal di lubuk hatinya yang paling dalam, tengah menjerit kesakitan. Iya kan? ngaku deh!” ulas Faris.
Hani bungkam saat Faris berkata demikian. Dia menyerah kemudian mengeluarkan air matanya kembali. “Ris... Kenapa aku harus jatuh cinta dengan orang yang salah?” ucap Hani di sela-sela tangisnya.
“Cinta dalam bahasa arab terdiri dari dua kata, hubbun. Ha’ (hairoh) itu artinya kebingungan dan ba’ (bala’) artinya ujian. Nah, jadi kalau kamu jatuh cinta harus siap mental. Ketawanya tuh nggak sebanding sama tangisnya,” jelas Faris.
Setelah itu mereka berdua berbincang dengan asyiknya sampai menjelang maghrib. Hani pamit pulang karena khawatir ibunya akan mencarinya.
“Ris, duluan ya,” pamit Hani.
“Oke, senang bertemu hari ini," jawab Faris.
Hani mengulurkan senyumnya sembari mengucapkan salam. Setelah Hani berjalan beberapa langkah, Faris memanggilnya dengan sedikit berteriak, “Jangan menangis, sebab kau tak akan pernah tahu siapa yang akan jatuh cinta dengan senyumanmu”. Hani yang mendengar itu mengedipkan matanya sebelah kemudian kembali berjalan. Tak lama, Faris menimpali lagi, “Aku misalnya."
Semenjak saat itu, mereka berdua lebih sering bertemu entah direncanakan maupun tidak. Hani memanggil Faris dengan sebutan ‘dokter cinta’ karena Faris selalu saja menceramahinya soal cinta. Tapi, Hani bersyukur berkat Faris, dia telah melupakan cinta pertamanya. Bahkan, dia sekarang mulai jatuh hati kepada Faris. Allah memang mudah sekali membolak-balikkan hati makhluk-Nya. Tapi, lagi-lagi Hani takut cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia selalu mendo’akan yang terbaik bagi Faris dan dirinya.
***
Sore ini, Faris datang ke rumah Hani untuk mengajaknya ke toko buku.
“Assalamu’alaikum,” salam Faris sambil memencet bel rumah Hani.
“Wa’alaikumussalam. Eh, ada Faris. Silakan masuk. Hani-nya lagi shalat asar. Paling bentar lagi selesai,” sambut Bu Ratna, mama-nya Hani.
Kemudian Faris masuk dan mendengar lantunan surah ar-Rahman. Dia kagum dan menikmatinya.
“Faris mau minum apa?” tanya Bu Ratna.
“Nggak usah, Tante. Faris nungguin Hani doang kok habis ini mau pergi,” tolak Faris dengan lembut.
“Ya udah, kalau gitu. Tante tinggal ke belakang dulu ya.”
“Eh bentar, tante. Itu yang ngaji siapa ya, Tan?” tanya Faris penasaran.
“Kok suara siapa. Ya suara Hani to, ris. Kan yang di rumah cuma ada dua perempuan, tante sama Hani. Jam segini Papa Hani belum pulang,” jawab Bu Ratna sambil tersenyum.
“Oh, iya sih. Faris cuma mastiin aja. Makasih tante,” ucap Faris.
Tak lama kemudian, Hani keluar dari kamarnya dan menemui Faris. Setelah itu, mereka berdua pamit kepada Bu Ratna. Sesampainya di toko buku, mereka berbincang-bincang.
“Han, kamu suka baca surah ar-Rahman, ya ?” tanya Faris tiba-tiba.
“Idih, nggak usah kepo deh, ah,” gubris Hani kecut karena kaget mendengar pertanyaan Faris.
Mereka berdua kemudian kembali memilih buku yang akan mereka beli. Selesainya membeli, Faris mengantarkan Hani pulang. Ketika mereka sampai di depan rumah Hani, “Fabiayyi alaa’i rabbikuma tukaddzibaan,” ucap Faris sambil memandang Hani. Lalu Hani kembali terkejut.
“Kamu ngapain sih, Ris?” tanya Hani.
“Aku lagi bersyukur aja sama Allah, diberikan nikmat yang tiada tara termasuk nikmat berada di sebelah bidadari di sampingku ini”.
Blush! Pipi Hani merah seketika sambil jantungnya terus berdegup kencang. “Gombal mulu. Udah, ah. Hati-hati di jalan! Assalamu’alaikum,” ucap Hani sambil keluar dari mobil Faris. “Wa’alaikumussalam, Hani. Habis ini kalau aku pergi, jangan kangen, ya. Haha,” goda Faris.
Hani tak menghiraukan uacapan Faris padahal sebenarnya dia sangat bahagia saat ini. Allah kembali memberikan anugerah-Nya kepada Hani, yaitu perasaan cinta kepada Faris, ‘dokter cinta’-nya.
***
“Hei, ngelamun mulu,” tegur Nayla, sahabatnya.
“Eh maaf, Nay," jawab Hani tersadar dari lamunannya.
“Pasti keinget ‘dokter cinta’-mu ya?” tanya Nayla.
Hani hanya tersenyum kecut. “Do’ain aja ya. Semoga Faris tenang di sana dan semoga Allah segera mempertemukan kamu dengan calon imam-mu,” ucap Nayla sambil mengelus pelan punggung Hani.
Hani masih tak menyangka maksud dari ucapan ‘pergi’ saat itu ialah pergi untuk selama-lamanya. Ya, beginilah hidup penuh dengan teka-teki kehidupan. Tak ada yang bisa kita perkirakan dengan pasti. Kita hanyalah wayang yang menjadi pemeran skenario Tuhan. Bersambung...
Penulis : Athvina Rosyada
Labels:
Cerpen