Dugderan, Tradisi Khas Masyarakat Semarang Menyambut Bulan Ramadhan

Efek pandemi covid19 memaksa kita untuk tetap stay at home, guna memutus rantai penyebaran virus tersebut. Sebagai mahasiswa yang setiap hari mengonsumsi buku serta beberapa tugas harian dari kuliah online, Salwa salah satunya, memiliki titik jenuh dalam belajar yang hanya dilakukan di rumah, tak jarang untuk menghilangkan kejenuhannya itu, ia beberapa kali memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada saat ini yakni dengan melakukan Video Call atau panggilan video jarak jauh dengan teman-temannya. Malam itu ia VC-an dengan dua teman SMA nya yang sekarang kuliah di Universitas Indonesia (UI) dan di Institut Teknologi Bandung (ITB), ditengah perbincangan, temannya yang dari UI bilang pada Salwa “Eh Sal, semisal nggak ada corona mungkin kamu sudah jalan-jalan kemana-mana sekarang, apalagi mendekati bulan Ramadhan gini, di Semarang pasti ramai banget tuh, kan ada tradisi dugderan disana.” 

Salwa memang kuliah di Semarang, namun karena ia bukan asli orang Semarang dan baru setahun di Semarang nampak ia belum begitu tahu dengan tradisi dugderan yang ada di Semarang, terlebih tahun lalu ketika mendekati bulan Ramadhan ia pulang ke rumahnya yang berada di Maluku, sementara tahun ini malah dilarang mengadakan acara apapun yang mendatangkan banyak orang sebab berpotensi menularkan virus, dimungkinkan perayaan tradisi dugderan ditiadakan. 

Malam itu rasa penasaran terus menghantui pikiran Salwa, akhirnya ia berusaha mencari di google dan anehnya pada layar hp tidak keluar pemberitahuan apa-apa, ternyata paketannya habis dan cuman tersisa paket unlimited chat, akhirnya ia tahu harus menghubungi siapa yang bisa menjawab rasa penasarannya tentang tradisi dugderan.

Pukul 23.36 WIB Salwa mengechat seseorang

“Kang Rizky, Assalamualaikum” sapa Salwa.

“Waalaikumsalam. Apa kabar mbak?” balas Rizky dengan ramah.

“Baik kang Alhamdulillah, ada waktu sebentar nggak kang?” Maka nyerocoslah Salwa mengeluarkan pertanyaan yang menghantui pikirannya padahal Rizky belum menjawab pertanyaan pertamanya, “Saya mau tanya tentang tradisi dugderan di Semarang soalnya sampean kan asli semarang kang”. 

Rizky kemudian menjawab, “Oalah kalau dugderan aku tahu, aku malah punya banyak buku tentang itu, tapi tak jelasin besok saja ya sekalian tak nyari bukunya juga, kalau sekarang sudah terlalu malam, lagi pula aku juga sudah ngantuk hehe”

Salwa pun mengiyakannya.

Keesokan harinya selepas sholat subuh, Rizky langsung mencari buku-buku tentang tradisi tersebut dilacinya, ia sedikit membacanya kembali.

Kemudian tepat jam setengah sembilan pagi, Risky menelpon Salwa. Setelah basa-basi sejenak, Rizky mulai menyampaikan apa yang ia pahami tentang tradisi dugderan.

‘Tradisi ini dimulai pada tahun 1881 M, pada masa Bupati RMTA Purbaningrat berkembanglah sebuah tradisi khas berupa arak-arakan menyambut datangnya bulan Ramadhan yang disebut dugderan. Acaranya dimulai setelah Shalat Ashar tepat satu hari menjelang bulan puasa, dipukullah bedug Masjid Agung Semarang disusul dengan penyulutan meriam dihalaman pendapa kabupaten di Kanjengan. Bunyi bedug “dug” dan bunyi meriam “der” yang berkali-kali pada akhirnya digabungkan menjadi istilah “dugderan”.’

Belum selesai Rizky menjelaskan, seakan tak sabar Salwa langsung menimpali dengan pertanyaan “Emang latar belakang timbul pemikiran untuk mengadakan acara tesebut apa kang?”  

Rizky pun berpikir sejenak dan menjawab “Oalah, kalau itu sebenarnya bupati RMTA Purbaningrat mempunyai tujuan yang luhur dibalik tradisi baru tersebut. Semuanya didasari keprihatinan terhadap kedamaian masyarakat yang dibangun selama itu. Saat datangnya penjajah Belanda dulu, mereka berhasil mengkotak-kotakkan masyarakat Semarang, politik devide it impera yang selama ini diterapkan penjajah Belanda diseluruh kawasan Nusantara sangat efektif memecah belah masyarakat Semarang. Ketegangan ini diperparah lagi dengan perbedaan dikalangan umat Islam sendiri yang seharusnya menjadi pemersatu antar ras yang berbeda, salah satunya tentang penentuan awal bulan Ramadhan yang pastinya akan merembet dihari-hari besar lainnya seperti Idul Fitri, Idul Adha dll. Nah, dengan keberanian dan kecerdasan sang Bupati, maka dilakukanlah usaha-usaha untuk memadukan berbagai perbedaan, dan usaha ini sangat mendapat dukungan dari kalangan ulama’ atau pemuka agama, salah satu ulama’ besar yang mendukungnya adalah Kyai Sholeh Darat.”

“Oh, berarti tradisi ini merupakan ide dari umara dan ulama’ ya kang?” sahut Salwa secara spontan

“Yups betul sekali Sal, dan dalam buku dijelaskan bahwa tujuan Tradisi Dugderan adalah untuk mengumpulkan seluruh lapisan masyarakat dalam suasana suka cita agar bersatu, berbaur, dan bertegur sapa tanpa perbedaan. Selain itu dapat dipastikan pula awal Ramadhan secara tegas dan serempak untuk semua faham agama Islam berdasar kesepakatan Bupati (umara’) dan Imam masjid (ulama’). Jadi, semangat persatuan sangat terasa pada tradisi tersebut Sal..” Jelas Rizky

“Emang prosesi Dugderan biasanya gimana to kang?” tanya Salwa semakin penasaran

“Seru banget Sal, adapun jalannya upacara didahului dengan kegiatan halaqah para Ulama’ pada sore hari diakhir bulan Rajab, diserambi masjid Besar Semarang. Musyawarah dipimpin oleh Kanjeng Kiyai Tapsir Anom, penghulu Masjid Besar Semarang, dihadiri oleh para ulama, kiyai dan Habib dari Jurang suru, labu api, Gajah mungkur, Bergota, Darat Nipah, Tinjomoyo dan penjuru kabupaten lainnya. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, baik dari sudut rukyah maupun hisab, para ulama dapat bersepakat mengenai awal bulan Ramadhan. Kesepakatan itupun ditekan oleh peserta halaqoh dan dituliskan pada selembar kertas (suhuf), untuk disampaikan pada Kanjeng Bupati (Walikota Semarang sekarang). Sebelumnya Kanjeng Bupati akan pergi dan berhenti di depan masjid perarakan. Lurah prajurit 40-an Kabupaten Semarang (yang juga Lurah Kampung Kauman atau Bonharjo) menyiapkan bregada  (pasukan), melaporkan bahwa Kanjeng Bupati sudah sampai di masjid. Sesampainya Walikota memasuki kompleks Kauman, Lurah Prajurit 40-an dari Masjid Kauman pun mempersilahkan Walikota Semarang masuk ke area masjid yang disambut dengan “salaman kaji” oleh Kanjeng Pengulu Kiai Tapsir Anom beserta para ulama yang telah menunggu sambil berjajar di serambi. Kanjeng Bupati dan para punggawa dipersilahkan lenggah (duduk bersila) bersama mereka. Sambil melepas penat Walikota Semarang berkenan mendengarkan alunan santiswaran (puji-pujian) dalam bahasa Jawa (macapat) yang diiringi gending (gamelan), mencoba menirukan cara Kanjeng Sunan Kalijaga dalam syiar Islam melalui media kesenian. Setelah lenggahan sejenak maka kanjeng Kiai Tapsir Anom menghanturkan suhuf hasil halaqah tadi kepada Walikota Semarang. Dan dengan lantang Walikota Semarang membacakannya di depan khalayak yang telah lama menunggu-nunggu. Sesudah membacakan “Maklumat Ramadan” itu, Walikota Semarang memukul bedug sebanyak 17 kali, didampingi para ulama dan punggawa. Irama bedug yang bertalu-talu disusul dentuman meriam dari arah Bangsal Kabupaten Semarang, memunculkan orkestrasi “dugder”. Akhirnya sesudah selesai memukul bedug, Walikota Semarang dan Nyai Bupati berkenan meninggalkan masjid, namun sebelumnya, tepat di pintu gerbang, dia berkenan membagi-bagikan jadah, gemblong, srabi, dan apem kepada khalayak yang beramai-ramai berebut untuk “mengalap berkah” dari jajan pasar tersebut sebelumnya dibungkus dalam sebuah telur, yaitu telur/ endognya warak yang ikut mengarak Walikota Semarang. Begitu Sal ceritanya...” terang Rizky panjang lebar.

Seakan masih kurang dengan penjelasan Risky yang begitu banyaknya atau mungkin ingin memperpanjang durasi telponan mereka berdua hehe, Salwa kembali bertanya pada Rizky

“Emang simbol atau ciri khas dari tradisi ini apa to kang?” tanya Salwa

“Ooo,, simbol dari tradisi ini tuh namanya Warak Ngendok. Ada yang mendefinisikan bahwa kata Warak berasal dari bahasa Arab waro’a, wariq yang berarti menghindari yang dilarang oleh Allah SWT (suci), sedangkan kata ngendog atau telur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah menjalani proses suci berpuasa. Hakekatnya, hewan ini merupakan simbol nafsu manusia. Badannya yang bersisik, mulutnya menganga dan bertaring, serta bermuka seram menggambarkan nafsu yang harus dikalahkan dengan puasa. Warak Ngendog merupakan kreativitas budaya lokal yang menjadi maskot dalam tradisi ritual Dugderan masyarakat Kota Semarang. maskot seni rupa tersebut sebagai simbol akulturasi budaya melalui analisis intra estetik dan ekstra estetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari aspek intra estetik, perwujudan Warak Ngendog sebagai maskot Dugderan mempresentasikan hewan rekaan berkaki empat yang bersifat enigmatik, unik, eksotik, dan ekspresif. Dari aspek ekstra estetik, maskot tersebut secara simbolik mencerminkan akulturasi budaya Jawa, Arab, dan Cina yang merefleksikan pesan-pesan edukatif ajaran moral Islami serta nilai harmoni kehidupan masyarakat yang multikultur sal...”

“Oalah, ternyata keren banget ya tradisi khas masyarakat Semarang, orang-orangnya juga, hehe” Kagum Salwa dengan sedikit gombalan.

“Maksudmu aku keren?” tanya Rizky dengan malu-malu

“Haha nggak, PD sekali sampean kang...” kata Salwa mengalihkan jawaban.

“Terimakasih ya kang untuk banyak penjelasannya, kapan-kapan aku pinjam bukunya ya.” Ucap Salwa

“Iya sama-sama, boleh tapi besok aja kalau kuliah sudah nggak online lagi atau sudah aktif di kampus.” Terang Rizky

Selanjutnya mereka saling tanya dengan pertanyaan yang mungkin tidak begitu penting untuk saya tulis, hehe. Dan merekapun mengakhiri obrolan mereka dengan saling salam. Sekian.


Penulis : Ahmad Nadlif (Mahasiswa Ilmu Al-quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Referensi : 
Supramono. 2007. Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang, Semarang: Tesis UNNES.  
Nurjanah. 2013. Let’s Enjoy Semarang (Guide Book of Semarang Tourism). Semarang: Ka. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang.
Triyanto dkk,. 2013. Warak Ngendhog Simbol Akulturasi Budaya Pada Karya Seni Rupa. Semarang: Jurnal Komunitas Edisi 5 Vol. 2
Hasanah Ulfatun. 2016. Penyelenggaraan Tradisi Dugderan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah Tahuan 2015 (Studi Tentang Nilai-Nilai Dakwah Islam). Semarang: Skripsi UIN Walisongo

1 Komentar

  1. Remember casinos rig the rules of the game in opposition to you, so they can them to} keep profitable. While taking part in} it safe is usually the wisest course, typically you have to to|you must} take a leap of religion so as to to} come out on high. This may mean wagering 다 파벳 우회 주소 your complete loss restrict on 5/1 odds, or refusing to fold a mediocre hand when the pot has grown to an unprecedented measurement. If you’ve weighed all the potential outcomes fastidiously, there’s an excellent likelihood that your confidence might be rewarded. Any gambler value their salt will inform you that the secret to success is recognizing when it’s time to quit.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama