Pada suatu malam, Sayyidina Umar bin Khathab berkeliling kota bersama ajudannya. Kala itu, beliau menjabat sebagai amirul mukminin. Tidak sengaja, beliau mendengar tangis seorang anak yang suaranya begitu parau. Tanpa pikir panjang, beliau segera mencari sumber suara dan mendapati seorang ibu sedang duduk di depan kuali.
“Mengapa anak Ibu menangis? Apakah ia sakit?”, tanya sang khalifah memulai pembicaraan.
“Tidak, tidak sakit. Dia menangis karena lapar,” jawab ibu tersebut.
“Lalu, apa yang sedang Ibu masak?” timpal amirul mukminin.
"Mari, akan saya tunjukkan," ajak ibu tersebut.
Wanita paruh baya tersebut sejatinya tidak mengetahui siapa sejatinya sosok yang datang. Ia hanya menganggap beliau seperti rakyat biasa. Lalu ibu tersebut mempersilakan beliau untuk melihat sendiri apa yang dimasaknya. Sang khalifah benar-benar tidak percaya. Kuali itu berisi batu.
“Mengapa Ibu memasak batu?”, tanya Sayyidina Umar heran.
“Supaya anak saya tahu seolah-olah saya sedang memasak. Dengan cara seperti ini, mungkin ia berhenti menangis”, ungkap sang ibu tersedu.
Terharu Sayyidina Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan kepalanya menggeleng sedih. Saat itu ajudan beliau mengatakan, “Apa Ibu tidak tahu bahwa di Madinah ada amirul mukminin?” Ibu bisa memberitahukan keadaan ini agar mendapatkan pertolongan.”
Spontan ibu tersebut menjawab, “Andai di kota ini memang ada seorang amirul mukminin, maka seharusnya ia datang untuk melihat nasib rakyatnya. Banyak rakyat di sini yang kelaparan. Sebagai pemimpin, seharusnya ia tahu penderitaan dan jerit hati rakyatnya,” papar ibu tersebut, lirih.
Mendengar ucapan itu, kedua kaki Sayyidina Umar lemas. Bibirnya bergetar dan air matanya bercucuran. Tarikan nafasnya tersengal-sengal seolah ada beban berat yang menimbun pikiranya. Tanpa pamit, beliau bergegas mengajak ajudannya untuk kembali ke rumah dan mengambil sepikul gandum.
Ketika Sayyidina Umar yang sudah berusia lanjut itu akan memikulnya sendiri, ajudannya melarang. “Biarlah saya yang membawa gandum ini untuk ibu itu, wahai Amirul Mukminin,” pintanya.
“Tidak!” jawab amirul mukminin dengan tegas.
“Akulah yang bertanggung jawab kepada Allah atas hal ini, bukan kau. Akulah yang akan ditanyai-Nya di akhirat terkait kelaparan yang menimpa rakyat. Akulah yang akan menanggung beban atas kelalaianku dalam mengayomi rakyat,” ucap Sayyidina Umar sembari pergi dengan segendong pangan menuju ke rumah ibu tadi.
Sikap beliau mencerminkan empati dan rasa kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Beliau menyesal atas kelalaiannya dalam melayani rakyat. Beliau juga merasa bahwa untuk melayani kebutuhan rakyatnya tidak sekedar diwakili stafnya saja. Beliau merasa perlu dan berkewajiban untuk “turun gunung” sendiri. Hal ini guna memenuhi hak hidup rakyatnya, memberi semangat, dan peka atas mereka.
“Saya adalah orang pertama yang lapar kalau rakyat kelaparan. Saya jualah orang terakhir yang merasakan kenyang, jikalau mereka kenyang,” tutur beliau.
Betapa indah perilaku Sayyidina Umar jika hal itu dilakukan oleh setiap pemimpin. Beliau memberi spirit untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kaum yang termarjinalisasi. Beliau ingin memberi layer gambar kepada para pemimpin untuk memberi atensi dan memprioritaskan wong cilik.
Sementara itu, Malik bin Harist Al-Asytar, gubernur Mesir pada tahun 38 H, menulis beberapa maklumat Ali bin Abi Thalib. Di antara isi maklumat tersebut ialah:
“Takutlah kepada Allah dalam mengurus orang-orang kecil, fakir miskin, dan gelandangan. Jagalah baik-baik kewajiban yang diamanatkan kepadamu dalam mengurusi mereka. Janganlah melalaikan derita orang-orang kecil dan jangan kamu palingkan wajahmu dari mereka karena kesombongan. Duduklah bersama mereka dan bersikaplah rendah hati untuk memperoleh ridha Allah. Jauhkanlah pengawalmu yang membuat orang takut untuk berbicara kepadamu. Rasulullah pernah berkata bahwa orang-orang yang tidak dapat menjaga yang lemah tanpa rasa takut, maka ia tidak akan mencapai kesucian.”
Kehadiran seorang pemimpin yang mencintai rakyatnya, tentu menjadi harapan setiap orang. Siapa dia? Pemimpin yang sabar, welas asih, lebih suka “mendengar” daripada “berbicara”. Lalu pemimpin yang mampu menjadi pelipur lara bagi rakyatnya yang ditimpa musibah. Ia selalu menjadi penyambung silaturahmi bagi rakyatnya yang bertikai. Selain itu, pemimpin yang mencintai rakyatnya adalah pemimpin yang tidak “cuci tangan” dari tanggung jawab atas persoalan yang terjadi. Serta ia yang tidak menampakkan kesalahan bawahanya.
Seorang pemimpin harus mampu menunjukan kearifan dalam mengatasi problematika kehidupan rakyat. Kearifan harus lahir dari relung hati nurani yang paling dalam. Ia tidak saja didasarkan pada kemampuan berinteraksi dengan semua lapisan rakyat. Tapi juga kemampuan dalam memposisikan diri sebagai teman sejati dan sehati bagi rakyat.
Referensi : cahaya nabawiy no.75 Tahun VII Sya’ban 1430/Agustus 2009
Oleh : Neli Ni’mawati
Labels:
Cerpen