Tercatat dalam sejarah kampus yang sangat fenomenal dimana terdapat dua insan dilanda gelisah, galau dan merana. Selain gelisah karena dilanda rindu yang tidak kunjung temu, mereka juga digelisahkan dengan adanya pandemi covid-19 yang mengharuskan untuk tetap di rumah saja. Sebut saja Riski dan Salwa. Kisah cinta mereka patut dicontoh dan diabadikan karena kesetiaan mereka dalam menjaga komitmen dan selalu ada dalam susah maupun senang.
Hubungan yang mereka jalin tergolong lama, sejak dipertemukan dalam satu sekolah di bangku Aliyah hingga sampai saat ini di bangku perkuliahan tepatnya pada semester akhir. Layaknya mahasiswa lain, mereka sering mengeluh mengenai tugas kuliah yang kian hari kian menumpuk dan tidak kunjung usai. Ingin menikah muda dengan wanita pilihanya, Riski memutuskan untuk mempersunting Salwa secepatnya. Tanpa pikir panjang, akhirnya Salwa pun menerima lamaran tersebut. Pikirnya dengan menikahlah maka tugas-tugas akan sedikit berkurang karena bisa bertukar tugas kapan saja.
Setelah mengetahui bahwa Salwa telah menerima lamarannya, Riski pun memberanikan diri untuk membicarakan hal ini dengan keluarganya maupun keluarga Salwa untuk dimintai persetujuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa usahanya tidak sia-sia. Akhirnya mereka berdua diizinkan menikah dalam keadaan masih kuliah. Dengan semangat Riski membeli berbagai macam persyaratan pernikahan seperti mas kawin, seperangkat alat shalat, dan perabot rumah tangga.
Mengingat beberapa himbauan dari pemerintah yaitu masyarakat tidak diperbolehkan mengadakan acara besar seperti : pesta pernikahan, pesta ulang tahun, dan lain sebagainya, namun ia tetap nekat melaksanakan pernikahan dengan cara yang sudah ia bicarakan bersama Salwa dan keluarganya. Menjelang hari yang telah ditentukan, rasanya tidak pantas jika ia tidak sowan kepada guru ngajinya sejak kecil yaitu Ustad Faizin. Dengan penuh semangat Ia mendatangi kediaman sang Ustadz yang kediamannya tidak jauh dari rumahnya sambil membawa bingkisan di kantong kresek yang berisi gula dan teh.
Riski : "Assalamualaikum.." (sambil mengetok pintu rumah Ustad Faizin)
Ustad Faizin : "Walaikumsalam eh Mas Riski, monggo masuk, duduk didalam saja sambil ngopi-ngopi."
Akhirnya mereka menikmati hidangan yang tersedia di dalam rumah sang Ustad. Selang beberapa saat, akhirnya Riski memberanikan diri untuk memulai pembicaraanya.
Riski : "Begini Ustad, saya mau konsultasi sama njenengan dan meminta pendapat mengenai niat saya untuk mempersunting dek Salwa."
Ustadz Faizin : "Wah, niat yang sangat mulia. Jika setiap muslim yang sudah mampu dan sudah siap, maka sangat dianjurkan untuk menikah. Tapi mas Riski masih kuliah to?"
Riski : "Iya, tapi hal ini sudah saya bicarakan dengan kedua belah pihak secara kekeluargaan. Saya juga sudah memikirkan ketika nanti kami berdua sama-sama kuliah, saya akan kuliah sambil bekerja demi menafkahi Salwa dan insya allah saya siap memberikan nafkah lahir batin."
Ustad Faizin : "Jika demikian yang diucapkan oleh mas Riski, silakan segera akad, Mas. Jika Mas Riski sudah tidak tahan." (sambil menahan tawa yang sengaja tidak dilontarkan)
Riski : "Ehehe iya, Ustad. Tapi kan Ustad tahu sendiri kalo Salwa tinggal jauh dari desa kita, beda kecamatan. Apa boleh jika saya melakukan akad secara online lewat video call? Supaya ketika perkuliahan sudah aktif, posisi kita sudah sah."
Mendengar paparan dari Riski tersebut, lantas sang Ustadz tertawa terbahak bahak sehingga membuat Riski sedikit bingung.
Riski : "Kenapa ustad? Kok njenengan malah tertawa dengan niat saya ini?"
Ustad Faizin : "Mas Riski ini ada-ada saja. Pernikahan memang merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun ketika akad dilaksanakan melalui telepon, internet, sms, surat, dan berbagai media sosial lainya itu tidak sah. Akad nikah hanya bisa dilakukan dengan sighot nikah yang shorih (langsung dan jelas). Sedangkan akad melalui online (media masa) tergolong kinayah."
Dengan buru-buru sebelum sang Ustad memberikan jawaban yang lebih detail, riski segera memotong perkataan sang ustad barusan.
Riski : "Loh loh, kok bisa begitu? Soal saksi, penghulu, mas kawkn, dan berbagai macam perabotan rumah tangga sudah saya siapkan layaknya pernikahan biasa, Ustad."
Lantas sang ustad menjawab dengan tenang
Ustad Faizin : "Salah satu persyaratan akad nikah yaitu seorang saksi harus melihat secara langsung proses akad tersebut. Melihat proses akad nikah melalui gambar atau video lewat jaringan internet atau media masa lainya belum dianggap cukup. Coba sampean lihat sendiri di I’anah Al-Tholibin juz III hal.299, Hasyiyah Asywarni juz IV hal. 222."
Riski : "Owalah, jadi saya tidak bisa melangsungkan akad nikah akhir-akhir ini ustadz, harus menunggu dipertemukan dengan kedua belah pihak dan menunggu pandemi covid selesai?"
Ustad Faizin : "Betul, Mas. Selain dipertemukanya kedua belah pihak keluarga, pasangan tersebut juga harus siap lahir batin agar bisa menjaga komitmen dalam pernikahan. Karena kita akan hidup selamanya dengan orang yang kita nikahi dan siap mempertanggungjawabkan tanggungan kita layaknya suami istri."
Setelah mendengar penjelasan dari sang ustdaz, dengan perasaan sedih dan penuh kecewa akhirnya ia berpamitan dari rumah sang ustad.
Sesampainya di rumah, ia segera membicarakan hal ini dengan keluarga dan kekasih hatinya yaitu Salwa lewat telepon seluler. Ia berkata bahwa pernikahan yang sudah dipersiapkan matang-matang harus dibatalkan. Dengan terpaksa pula ia akhirnya menjual kembali barang-barang yang sudah ia beli sebagai syarat pernikahan. Sekian*
Oleh Neli Ni’mawati (Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Hubungan yang mereka jalin tergolong lama, sejak dipertemukan dalam satu sekolah di bangku Aliyah hingga sampai saat ini di bangku perkuliahan tepatnya pada semester akhir. Layaknya mahasiswa lain, mereka sering mengeluh mengenai tugas kuliah yang kian hari kian menumpuk dan tidak kunjung usai. Ingin menikah muda dengan wanita pilihanya, Riski memutuskan untuk mempersunting Salwa secepatnya. Tanpa pikir panjang, akhirnya Salwa pun menerima lamaran tersebut. Pikirnya dengan menikahlah maka tugas-tugas akan sedikit berkurang karena bisa bertukar tugas kapan saja.
Setelah mengetahui bahwa Salwa telah menerima lamarannya, Riski pun memberanikan diri untuk membicarakan hal ini dengan keluarganya maupun keluarga Salwa untuk dimintai persetujuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa usahanya tidak sia-sia. Akhirnya mereka berdua diizinkan menikah dalam keadaan masih kuliah. Dengan semangat Riski membeli berbagai macam persyaratan pernikahan seperti mas kawin, seperangkat alat shalat, dan perabot rumah tangga.
Mengingat beberapa himbauan dari pemerintah yaitu masyarakat tidak diperbolehkan mengadakan acara besar seperti : pesta pernikahan, pesta ulang tahun, dan lain sebagainya, namun ia tetap nekat melaksanakan pernikahan dengan cara yang sudah ia bicarakan bersama Salwa dan keluarganya. Menjelang hari yang telah ditentukan, rasanya tidak pantas jika ia tidak sowan kepada guru ngajinya sejak kecil yaitu Ustad Faizin. Dengan penuh semangat Ia mendatangi kediaman sang Ustadz yang kediamannya tidak jauh dari rumahnya sambil membawa bingkisan di kantong kresek yang berisi gula dan teh.
Riski : "Assalamualaikum.." (sambil mengetok pintu rumah Ustad Faizin)
Ustad Faizin : "Walaikumsalam eh Mas Riski, monggo masuk, duduk didalam saja sambil ngopi-ngopi."
Akhirnya mereka menikmati hidangan yang tersedia di dalam rumah sang Ustad. Selang beberapa saat, akhirnya Riski memberanikan diri untuk memulai pembicaraanya.
Riski : "Begini Ustad, saya mau konsultasi sama njenengan dan meminta pendapat mengenai niat saya untuk mempersunting dek Salwa."
Ustadz Faizin : "Wah, niat yang sangat mulia. Jika setiap muslim yang sudah mampu dan sudah siap, maka sangat dianjurkan untuk menikah. Tapi mas Riski masih kuliah to?"
Riski : "Iya, tapi hal ini sudah saya bicarakan dengan kedua belah pihak secara kekeluargaan. Saya juga sudah memikirkan ketika nanti kami berdua sama-sama kuliah, saya akan kuliah sambil bekerja demi menafkahi Salwa dan insya allah saya siap memberikan nafkah lahir batin."
Ustad Faizin : "Jika demikian yang diucapkan oleh mas Riski, silakan segera akad, Mas. Jika Mas Riski sudah tidak tahan." (sambil menahan tawa yang sengaja tidak dilontarkan)
Riski : "Ehehe iya, Ustad. Tapi kan Ustad tahu sendiri kalo Salwa tinggal jauh dari desa kita, beda kecamatan. Apa boleh jika saya melakukan akad secara online lewat video call? Supaya ketika perkuliahan sudah aktif, posisi kita sudah sah."
Mendengar paparan dari Riski tersebut, lantas sang Ustadz tertawa terbahak bahak sehingga membuat Riski sedikit bingung.
Riski : "Kenapa ustad? Kok njenengan malah tertawa dengan niat saya ini?"
Ustad Faizin : "Mas Riski ini ada-ada saja. Pernikahan memang merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah. Namun ketika akad dilaksanakan melalui telepon, internet, sms, surat, dan berbagai media sosial lainya itu tidak sah. Akad nikah hanya bisa dilakukan dengan sighot nikah yang shorih (langsung dan jelas). Sedangkan akad melalui online (media masa) tergolong kinayah."
Dengan buru-buru sebelum sang Ustad memberikan jawaban yang lebih detail, riski segera memotong perkataan sang ustad barusan.
Riski : "Loh loh, kok bisa begitu? Soal saksi, penghulu, mas kawkn, dan berbagai macam perabotan rumah tangga sudah saya siapkan layaknya pernikahan biasa, Ustad."
Lantas sang ustad menjawab dengan tenang
Ustad Faizin : "Salah satu persyaratan akad nikah yaitu seorang saksi harus melihat secara langsung proses akad tersebut. Melihat proses akad nikah melalui gambar atau video lewat jaringan internet atau media masa lainya belum dianggap cukup. Coba sampean lihat sendiri di I’anah Al-Tholibin juz III hal.299, Hasyiyah Asywarni juz IV hal. 222."
Riski : "Owalah, jadi saya tidak bisa melangsungkan akad nikah akhir-akhir ini ustadz, harus menunggu dipertemukan dengan kedua belah pihak dan menunggu pandemi covid selesai?"
Ustad Faizin : "Betul, Mas. Selain dipertemukanya kedua belah pihak keluarga, pasangan tersebut juga harus siap lahir batin agar bisa menjaga komitmen dalam pernikahan. Karena kita akan hidup selamanya dengan orang yang kita nikahi dan siap mempertanggungjawabkan tanggungan kita layaknya suami istri."
Setelah mendengar penjelasan dari sang ustdaz, dengan perasaan sedih dan penuh kecewa akhirnya ia berpamitan dari rumah sang ustad.
Sesampainya di rumah, ia segera membicarakan hal ini dengan keluarga dan kekasih hatinya yaitu Salwa lewat telepon seluler. Ia berkata bahwa pernikahan yang sudah dipersiapkan matang-matang harus dibatalkan. Dengan terpaksa pula ia akhirnya menjual kembali barang-barang yang sudah ia beli sebagai syarat pernikahan. Sekian*
Oleh Neli Ni’mawati (Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Labels:
Cerpen