Pertanyaan menarik ini bisa saja menyisahkan perdebatan. Sebagian orang yang lebih percaya pada pertanyaan kedua, yakni manusia yang bermoral adalah yang mempercayai adanya tuhan. Hal ini didasarkan pada perkembangan manusia yang sebenarnya sudah mengenal etika dan moral, bahkan sebelum mereka mengenal Tuhan. Frans de Wall, ahli primate dunia, biology di Emory University merupakan salah seorang yang mendukung pendapat tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul The Bonobo and The Atheist, ia mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap primate besar seperti simpanse dan bonobo. Ia mengatakan bahwa moralitas berkembang sebelum manusia dan kebudayaan manusia berkembang. Bahkan ia mengatakan “Saya mengambil petunjuk kepedulian pada komunitas ini sebagai tanda bahwa penyusun utama moralitas lebih tua dari kemanusiaan, dan kita tidak perlu Tuhan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa sampai pada posisi kita sekarang”.
Terkadang suatu bidang dalam hal sains mampu membuat manusia menjadi atheis atau religious. Sebagian kita mungkin tidak perlu mempermasalahkan pendapat De Wall, karena ia memang seorang Atheis. Maka wajar jika kita percyaa bahwa sains sudah mampu menjelaskan semuanya. Menurutnya, tanpa adanya tuhan, segala sesuatu didunia ini bisa berjalan sebagaimana system semesta yang sudah begitu sempurna.
Dalam Islam jelas-jelas bahwa ketauhidan kita sebenarnya sudah terikrar sebelum kita dilahirkan didunia. Sebagaimana dalam firmanya: “Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman); bukankah aku ini tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (engkau tuhan kami), kami menjadi saksi. ‘(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan : “sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang yang lengah terhadap ini )keesaan Tuhan)”. QS Al-A’raaf: 172
Mayoritas agamawan percaya bahwa keyakinan kepada Tuhan akan memiliki dampak terhadap perilaku manusia. Ketika seorang percaya adanya tuhan, makai a akan lebih berhati-hati dalam bersikap karena ia tahu bahwa ia selalu berada dalam pengawasan tuhan. Selain itu, orang yang percaya tentang adanya Tuhan akan memiliki kesadaran bahwa suatu saat ia akan mempertanggungjawabkan segala yang dikerjakan selama hidup.
Bagi orang yang beriman, kepercayaan kepada Allah hendaknya tidak hanya membuatnya menjadi pribadi yang saleh dalam peribadalan ritual. Tapi ia harus memiliki dampak terhadap kehidupan sosialnya. Shalat kita harus mampu menghindarkan diri kita dari perbuatan keji dan mungkar, zakat kita hendaknya pengingat bahwa dalam harta kita tersimpan hak mustahik, puasa kita hendaknya mengasah sensitivitas sosial kita, haji harusnya membuat pergaulan sosial kita lebih baik dari sebelumnya.
Kita mengakui bertauhid, kita merasa beriman, kita bilang berislam. Tetapi saat mendapat masalah hidup, yang pertama kali di ingat bukanya zat yang mempunyai segala solusi, malah justru yang kita ingat adalah makhluk nya yang hanya menjadi perantara dari terselesaikannya masalah tersebut. Setiap masalah hadir hendaknya yang pertama kita pikirkan adalah dimana sumber masalah itu berasal. Masalah yang dating tersebut bantuknya ujian, teguran atau adzab? Saat problematika hidup datang kepada kita, segera pertanyaan diri, masalah itu turun sebagai pengangkat derajat, atau justru sebagai siksa dari Allah sebelum disiksa di akhirat.
Referensi :
Menguti dalam buku Ketika Tuhan Tak Lagi Dibutuhkan AHMAD RIFA’I RIF’AN
Oleh : Neli Ni’mawati (Mahasiswi Ilmu Al-qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Labels:
Artikel