Pernikahan Dengan Mahar Sepasang Sandal, Ternyata Sudah Ada Pada Masa Rasulullah


Gambar pemberian mahar berupa sandal dan segelas air (Sumber : Kompas.TV)
Penyebutan atau penentuan sebuah mahar pernikahan tidak merupakan hal yang wajib dilaksanakan dalam Islam, ini hanya dihukumi sunnah saja. Pernikahan akan tetap sah meskipun tidak ada penyebutan mahar dalam akadnya. Sebagaimana makna yang tersirat dari Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah/236 :

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ

Artinya : "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya"

Ayat ini menunjukkan keabsahan suatu pernikahan tanpa penyebutan dan penentuan mahar untuk sang wanita. Karena sesungguhnya talak (perceraian) yang disebutkan dalam ayat itu tidak akan terjadi kecuali setelah sahnya akad nikah.

Tidak ada ketentuan batas minimal dan maksimal dari Mahar pernikahan. Bahkan diperbolehkan menikahi perempuan dengan mahar معلومة منفعة (kemanfaatan yang diketahui) seperti contoh mengajari Al Quran kepada sang istri.  Namun sebaiknya mahar tidak kurang dari 10 dirham (sebagai upaya khuruj min al khilaf / keluar dari perbedaan pendapat ulama yang mewajibkannya seperti golongan Hanafiyah) dan tidak lebih dari 500 dirham sebagaimana yang telah diterapkan pada maharnya anak dan isteri-isteri Nabi Muhammad SAW.

Akhir-akhir ini sempat viral pernikahan seorang pemuda yang saya ketahui dari KOMPAS.TV bernama Iwan Firman Wahyudi alias Yudi dengan Helmi Susanti di Praya Tengah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Foto dan vidio pernikahan mereka viral di berbagai media sosial. Keunikannya adalah pada mahar yang hanya berupa sepasang sendal jepit dan segelas air putih. Suatu hal yang sangat berbeda dari yang lain, karena  mahar pada umumnya di Indonesia adalah seperangkat alat sholat, uang tunai, dan barang berharga lainnya seperti emas.

Mahar berupa sandal jepit ini diketahui adalah permintaan dari Helmi (isteri Yudi) dengan alasan tidak mau memberatkan suami dan keluarganya. Tentu ini merupakan niat yang sangat baik, karena agama mengajarkan kita untuk mempermudah dan tidak mempersulit (yassir wa la tu’assir). Terlebih pada urusan nikah yang merupakan sunnah Rasulullah sendiri, sudah semestinya tidak boleh dipersulit dengan mahar yang neko-neko (aneh-aneh). Tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Maka darinya, tiada efek yang terlalu mengena mengenai mahar yang terlalu mahal atau mewah. Mahar sederhana saja sudah mencukupi, kenapa harus yang mahal ? Nikah yang paling baik adalah nikah yang maharnya mudah (bukan murah !), sesuai sabda Nabi dalam Hadisnya :

عن عقبة بن عامر : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " خير النكاح أيسره " ( رواه ابو داود )

Artinya: Dari Uqbah bin ‘Amir r.a bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Sebaik-baik pernikahan adalah yang memudahkan (mahar)” (HR. Abu Dawud).

Kejadian seperti ini (Mahar berupa sandal) dalam sejarahnya ternyata telah terjadi pada Zaman Nabi Muhammad SAW. Yaitu pernikahan yang dialami oleh wanita dari Bani Fazarah. Dan hal ini diperbolehkan Nabi setelah beliau menanyai tentang keridloan hati dari sang wanita mengenai mahar berupa sandal tersebut. Hadisnya tertera pada kitab at Tadzhib fi Adillati Matni al Ghayah wa at Taqrib/168, yaitu :

عن عامر بن ربيعة رضي الله عنه : أن امرأة من بني فزارة تزوجت على نعلين, فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم :  أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجازه.

Artinya : Dari Amir bin Rabi’ah R.A “Bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita dari bani Fazarah yang dinikah dengan mahar sepasang sandal, lalu Rasulullah bertanya “Ridlokah kamu atas dirimu dan hartamu dengan mahar sepasang sandal ?”. Ia menjawab “iya”. Maka Rasulullah memperbolehkannya. (HR. Tirmidzi)

Hal ini menunjukkan bahwa agama bersifat mudah dan tidak sulit. Pernikahan yang merupakan sunnah Rasulullah dapat sah menggunakan mahar apa adanya seperti sepasang sandal jepit saja. Kebahagiaan tidaklah bertolak ukur pada barang yang mahal atau istimewa, melainkan rasa syukur dan merasa cukup dengan kenikmatan yang ada, sebagaimana Rasul menanyai wanita itu dalam Hadisnya.


Penulis : SH_Alfadani mahasiswa jurusan ilmu al quran dan tafsir

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama