Menjadi Guru Adalah Kewajiban?

 

Banyak anak sekolah ketika ditanya oleh gurunya tentang cita-cita mereka, mereka menjawab 'menjadi guru' seperti halnya yang bertanya. Lantas, se-spesial apakah posisi guru hingga sedemikian banyak jawaban mereka sama? Benarkah mereka benar-benar mengidamkannya atau sekedar berasumsi bahwa -menjadi guru- itu lebih realistis ketimbang menjadi dokter, insinyur atau bahkan ilmuwan -yang cenderung idealis-?  Ya, nampaknya menjadi guru memang target yang realistis dan tak muluk-muluk. Namun, sadarkah bahwa tanpa perlu dicita-citakan pun, semua orang adalah guru. Bagaimana bisa?

Sebelumnya, mari kita diskusikan dahulu tentang makna guru itu sendiri. Kata 'guru' setidaknya bisa dimaknai secara sempit sebagai sebuah profesi -yang tentunya sebagai sumber penghasilan-, mengajar, mendidik atau membimbing. Pun bisa dimaknai secara luas sebagai aktifitas mengajar, mendidik atau membimbing itu sendiri (tanpa menjadi profesi), maka muncul istilah 'menggurui' yang mana pelakunya belum tentu berprofesi sebagai guru. Dengan demikian, siapapun yang mengajar, mendidik, atau paling tidak membimbing dirinya sendiri, adalah guru.

Menjadi guru -dalam arti luas- merupakan sebuah keharusan, di samping menjadi murid (pencari ilmu) yang juga merupakan sebuah kewajiban. Bayangkan jika semua orang menjadi murid, tanpa ada yang menjadi guru. Bukankah berilmu tanpa berguru itu sangat berbahaya? Semoga kita tidak tergolong dalam maqalah من لاشيخ له فشيخه الشيطان , yang berarti “Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan”. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta'limul Mutaallim mengutip syair dari Sayyidina 'Ali karramallahu wajhah, bahwa syarat mendapatkan ilmu ada enam, antara lain;

ذكاء وحرص واصتبار وبلغة  وارشاد استاذ وطول زمان

"Cerdas (berakal), semangat, sabar, biaya, bimbingan guru, dan waktu yang lama"

Suatu kaidah menyatakan, "segala yang menjadi perantara perkara wajib, maka hukumnya wajib pula". Barangkali keharusan menjadi guru berakar dari kewajiban mencari ilmu sebagaimana keharusan wudlu berakar dari kewajiban sholat.

Oleh karena menjadi guru berarti mengajarkan sesuatu, maka berarti selangkah mendekat ke sikap menyampaikan ilmu. Bukankah ilmu dapat terasa manfaatnya jika diketahui dan diamalkan orang lain? Semoga kita dapat mengamalkan dan menebar ilmu yang kita miliki meski berupa satu haruf.


Oleh: Moh. Jamalul Lail

Sumber : Ta'limul Muta'alim

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama