Ternyata Sumber Radikalisme adalah Pemerintah


Menteri Agama Fachrul Razi kembali menuai kritik atas pernyataannya yang kemudian menjadi sorotan banyak orang. Pernyataan Menag Fachrul tentang pemahaman radikal yang menurutnya polanya dengan mengirim anak good looking dan hafidh ke masjid. Ia mengatakan hal tersebut dalam sebuah webinar bertajuk “Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara” di kanal YouTube Kementerian PAN-RB pada Rabu (2/9). Hal tersebut bagi sebagian orang dianggap terlalu mengeneralisasi Islam.

Dakam sejarahnya, radikalisme lahir dari pernikahan sosial dan politik. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan ada kelompok ekstrem atau radikal itu hanyalah permainan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Rasanya terlalu mengeneralisasi jika Islam dikatakan sebagai agama yang menghalalkan darah kafir dan ingin menegakkan syariat Islam meski harus menumpahkan darah. Yang lebih lucu lagi, itu dikatakan oleh orang Islam sendiri.

Kata radikalisme mengalami penyimpangan atau pergeseran makna. Secara etimologis, kata radikal berasal dari bahasa latin “radix” yang berarti mengakar, sumber, asal-mula, pokok, dasar, dan esensial atas berbagai macam gejala. Para filsuf Yunani kuno dianggap sebagai orang yang radikal sebab pada saat itu radikal dipahami sebagai metode berpikir dengan cara mempertanyakan sesuatu. Yakni, mendalam hingga menyentuh pada akar permasalahan.

Sedangkan dalam konteks agama, kata radikalisme digunakan pemerintah untuk menggambarkan prilaku kelompok atau organisasi yang ekstrem. Anehnya, narasi yang selalu digaungkan pemerintah terkait radikalisme selalu menyasar kepada umat islam. Jelas hal tersebut tidaklah proposional. Tuduhan Islam radikal adalah tuduhan yang tidak berdasar pada konsep keadilan. Sebab radikalisme ekstremisme terdapat bukan hanya pada Islam saja tapi juga umat beragama lainnya di dunia.

Bahkan apabila radikalisme itu adalah kata negatif yang mengandung makna ekstremisme, maka pemerintah adalah diantara sumber radikalisme. Karena pemerintah yang acap kali melakukan tindakan ekstrem terhadap rakyatnya.  ekstrimisme dipahami sebagai sebuah doktrin baik itu politik ataupun agama untuk menggerakkan aksi dengan berbagai cara demi mewujudkan tujuannya. Dengan demikian radikalisme bisa masuk di segala jenis aspek seperti ekonomi, budaya, potitik, hukum, dan lain sebagainya.

Misalnya saja pembangunan ekonomi yang dijabarkan pemerintah Jokowi yang menganut neo-liberalisme dan kapitalisme berpotensi melahirkan “radikalisme ekonomi” yang melahirkan pelaku bisnis jahat yang setiap hari melancarkan aksi “teror materialistis”. Akhirnya masyarakat Indonesia memiliki budaya konsumtif yang tinggi tapi produksi yang rendah. Merekalah para taipan yang mendikte bagaimana cara masyarakat membelanjakan penghasilan yang mereka peroleh. Di bawah naungan paham ekonomi radikal dan teror materialistis inilah tumbuh subur korupsi seta penyalahgunaan kekuasaan.

Mengenai sumber radikalisme, sebahagian para ahli menuding bahwa kekuasaanlah yang menjadi akar radikalisme, baik yang dipresentasikan oleh negara maupun oleh penguasanya. Misalnya saja Amerika Serikat yang begitu kuat melakukan radikalisasi atas radikalisme yang secara sadar sudah melampaui perilaku teroris yang ia tuduhkan. AS melakukan rekayasa politik dengan menuding bahwa terorisme itu berbahaya bagi keamanan dan perdamaian, oleh karena itu harus dimusnahkan. Kekuasaanya atas PBB menjadi sebab radikalisme di Amerika, Yahudi, dan Barat. Sebab ia memiliki kekuasaan sebagai perwujudan segala keinginan atau tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi menempatkan faktor kekuasaan sebagai inti persoalannya, sehingga radikalisme juga sering dimaknai sebagai bentuk dan cara perebutan kekuasaan.

Radikalisme pada domain politik adalah bentuk radikalisme yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan terhadap warga negaranya, atau tindak radikalisme negara terhadap negara lain yang dinilai memiliki sistem politik yang berbeda. Seperti pembunuhan masal yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah seperti Irak, Suria, Yaman, Palistina, Somalia dan lain sebagainya yang mengatasnamakan radikalisme, terorisme, dan fundamentalisme. Jika logika yang digunakan adalah radikal sebagai bentuk perilaku ekstrem, maka pemerintah adalah pelaku radikalisme pertama. Bahkan menuduh kelompok lain radikal dan ekstrem kemudian mempersekusi kelompok tersebut itu juga bentuk radikal dan ekstrem.

Dapat ditegaskan bahwa radikalisme dapat dilakukan oleh siapa saja, baik negara, kelompok, masyarakat atau bahkan individu dapat menjadi pelaku radikalisme ekstremisme. Namun tetap saja bagi Johan Galtung negaralah yang memiliki potensi besar untuk menghilangkan hak-hak warga negaranya guna merealisasikan tujuan politiknya.

Untuk dapat menghilangkan radikalisme, bukan malah menjauh dari agama justru buatlah agama itu menjadi solusi. Kesalahan negara atau pemerintah dalam menangani kasus radikalisme mesti diluruskan. Caranya bukan dengan memisahkan agama dengan negara seperti Amerika atau mempersekusi kelompok yang dituduh radikal seperti di Indonesia melainkan dengan cara memasifkan pendidikan agama yang benar.

Bagi Mark R. Woodward, pendidikan agama merupakan akar dalam membangun revolusi sosial dalam membendung radikalisme politik global. Mayoritas anggota kelompok Islam aliran garis keras (ekstrem) adalah pemuda berusia sekitar 15-25 tahun yang kebanyakan belum tahu banyak tentang agama. Apabila tingkat pendidikan agama tinggi maka akan tahu dan sadar mana yang benar dan yang salah, tidak akan mudah terpengaruh dengan aliran yang belum jelas kebenarannya. Lembaga-lembaga pendidikan Islam bukanlah central radikalisme, kebanyakan kelompok radikal muncul dari lulusan Universitas sekuler.

Di Amerika Serikat, agama tidak mendapat tempat dalam pendidikan. Artinya bahwa politik niragama itulah yang justru memicu perilaku pemerintah atau penguasa melakukan tindakan radkalisme demi memenuhi hasrat berkuasa dan demi melanggengkan kekuasaan. Maka, penting sekali untuk tidak menghilangkan sila pertama pancasila dalam point point pancasila. Pendapat yang menyatakan bahwa pancasila apabila diperas maka akan tertampung pada satu hal yakni gotong royong jelas tidaklah tepat. Apabila ingin diperas dan dicari intisari pancasila maka akan muncul sila pertama yakni keTuhanan. Inilah yang disebut sebagai radikal dalam konteks positif bukan seperti yang dipahami oleh pemerintah Indonesia saat ini.

 Oleh: Alwi Husein Al Habib (Mahasiswa IAT UIN Walisong Semarang)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama