Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan aksi vandalisme terhadap rumah ibadah. Rumah ibadah adalah sebuah tempat yang digunakan oleh umat beragama untuk beribadah sesuai ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-masing. Vandalisme menurut KBBI adalah “perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya” atau “perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas”. Istilah ini merujuk kepada suatu sikap kebiasaan yang berasal dari bangsa Vandal, pada zaman Romawi Kuno, yang merusak kota Roma secara biadab pada tahun 455 dan pada akhirnya istilah ini berkembang dan dipakai oleh masyarakat sebagai definisi dari tindakan-tindakan perusakan atau penghancuran.
Islam melarang perusakan dan ibadah orang lain. Bahkan, dalam kondisi berperang pun begitu dilarang. Dalam kitab at-Tabaqat karya Ibnu Sa’d dikisahkan bahwa “ketika datang utusan Kristen dari Najran berjumlah enam puluh orang ke Madinah untuk menemui Nabi, Nabi menyambut mereka di mesjid Nabawi. Menariknya, ketika waktu kebaktian tiba, mereka melakukan kebaktian di mesjid. Sementara itu, para sahabat berusaha untuk melarang mereka. Namun Nabi malah mengatakan : da’uuhum (biarkanlah mereka)”.
Melalui perintah ini, sahabat memahami bahwa Nabi Saw mempersilahkan mereka untuk menggunakan mesjid Nabawi sebagai tempat kebaktian sementara. Mereka melakukan kebaktian dengan menghadap ke timur sebagai arah kiblat mereka. Peristiwa bersejarah yang menunjukkan sikap toleransi nabi ini terjadi pada hari minggu setelah Asar tahun 10 H. Peristiwa ini juga terekam dengan sangat baik dalam beberapa induk kitab sejarah seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Sirah Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Ishak dan lain-lain. Sebagian ahli tafsir modern mengaitkan hadis ini dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 114 yang bunyi terjemahannya kira-kira demikian:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا أُولَٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya : “Lalu, siapakah yang tepat dianggap lebih zalim daripada orang-orang yang berusaha melarang dan menghalang-halangi disebutnya nama Tuhan di tempat-tempat peribadatan serta berusaha menghancurkan tempat-tempat tersebut. Padahal mereka tidak berhak memasukinya kecuali dalam keadaan takut kepada Tuhan. Kelak mereka (yang menghancurkan tempat-tempat peribadatan) akan mendapatkan kesengsaraan di dunia dan siksaan yang berat di akhirat”
Muhammad Asad misalnya, dalam The Message of The Quran menerjemahkan kata masajid pada ayat di atas sebagai houses of worship ‘tempat-tempat peribadatan’. Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Mannar yang menerjemahkan masajid pada ayat di atas sebagai ma’abid “tempat-tempat peribadatan”, bukan sekedar peribadatan umat Islam. Penerjemahan masajid sebagai “tempat peribadatan” secara umum dan bukan sebagai “tempat peribadatan Islam” secara khusus pada ayat di atas jelas merupakan terjemahan yang merujuk kepada makna generik dari masjid itu.
Karena itu, menurut Asad, setiap muslim diwajibkan menghormati dan menjaga tempat peribadatan agama apapun yang diperuntukkan untuk menyembah Tuhan, baik itu masjid, gereja atau sinagog. Dan karena itu pula segala usaha untuk mencegah dan menghalang-halangi para penganut agama lain untuk menyembah Tuhan menurut keyakinannya masing-masing sangat dilarang dan bahkan dikutuk oleh al-Quran sebagai sebuah kezaliman, bahkan dianggap sebagai bentuk kezaliman yang paling besar.
At-Thabari dalam Jami al-Bayan fi Tafsir ayat Min Ayil Quran menafsirkan ayat di atas sebagai “Siapa lagi orang yang lebih ingkar kepada Allah dan menyalahi segala aturannya selain dari orang yang menghalang-halangi disebutnya nama-Nya di tempat-tempat peribadatan dan berusaha menghancurkannya”. Melalui pandangan ini, jelaslah bahwa at-Tabari mengkategorikan orang-orang yang tidak menghargai tempat peribadatan sebagai orang yang paling ingkar terhadap eksistensi Allah.
Kisah yang dikutip dari kitab at-Tabaqat karya Ibnu Sa’ad diatas dan kaitanya dengan QS. al-Baqarah: 114 menunjukan bahwa Nabi menerjemahkan secara langsung semangat al-Quran untuk menghormati segala bentuk tempat peribadatan dalam praksis nyata. Hal demikian juga semakin dipertegas dengan kenyataan bahwa beliau selalu memerintahkan para sahabat untuk tidak merusak tempat-tempat peribadatan dalam peperangan. Ini artinya Nabi sangat menghormati dan menghargai tempat-tempat peribadatan agama lain meski secara keimanan sangat berbeda secara amat mendasar.
Namun sayangnya, ajaran Nabi ini diselewengkan oleh oknum tertentu demi tujuan dan hasrat politik. Beberapa kelompok umat Islam yang ekstrim salah memahami semangat Nabi yang inklusif ini. Diantara mereka ada yang membakar, mengebom, dan meruntuhkan bangunan peribadatan seperti gereja, sinagog dan lain-lain dengan dalih agama. Membakar, mengebom dan aksi-aksi kejahatan lainnya yang ditujukan untuk menghancurkan tempat-tempat peribadatan tersebut jelas merupakan tindakan yang menurut al-Qur’an sebagai azhlam ‘yang paling zalim/yang paling ingkar dst’.
Jika hal demikian sudah dicontohkan pada era Rasulullah SAW , lantas bagaimana al-Qur’an menanggapi vandalisme terhadap rumah ibadah?. Tentu hal ini sangat penting untuk kita ketahui, maka dari itu HMJ IAT (Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu al Quran dan Tafsir) UIN Walisongo Semarang berinisiatif untuk mengadakan sebuah munadhoroh (diskusi) yang nantinya akan mengkaji seputar masalah tersebut bersama Dr. Sukendar, M.Ag sebagai narasumbernya. Munadloroh kali ini akan diselenggarakan secara online melalui google meet pada Minggu, 11 Oktober 2020 (jam 14.00-selesai). Nahh, nunggu apa lagi ? skuy ikuti munadlorohnya, dengan memenuhi persyaratan yang tertera pada pamflet yah, jangan sampai ketinggalan ! santai-santai dirumah sambil nyeduh kopi juga bisa ko.... hehehe :v.
Salam Tafsir Hadis...... !
Oleh : Ahmad Muzajjad
“Mahasiswa Ilmu Al Quran dan Tafsir FUHUM UIN Walisongo Semarang”