Tahun telah berganti namun pandemi virus COVID-19 masih saja menghantui kita saban hari. Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali hanya dengan melakukan upaya preventif demi menghindari risiko terinfeksi virus COVID-19 yakni dengan memakai masker, cuci tangan dan juga menjaga jarak.
Banyak sekali dampak yang ditimbulkan akibat pandemi ini. Di antaranya yaitu puluhan ribu karyawan di PHK, dirubahnya sistem pembelajaran yang mulanya tatap muka menjadi tatap layar, dibatasinya jadwal malam minggu (walaupun ini juga kabar gembira bagi para jomblo) dan masih banyak yang lainnya.
Salwa adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terkena dampak tersebut. Ia saat ini masih nyantri di Ponpes al Muttaqin asuhan Abah Zulfani el-Andrians. Abah Zulfani menerapkan aturan ketat di pondoknya, bahkan beliau sangat melarang apabila ada santri yang ingin izin pulang ke kampung halaman mereka sebab beliau tidak ingin apabila ada santrinya yang tertular virus.
Salwa termasuk santri ndalem Abah Zulfani. Meskipun ia sangat dekat dengan Abahnya, Salwa selalu bersikap tawadhu’ di hadapan sang Abah. Jarang sekali ia berani bertanya sesuatu kecuali hanya dalam keadaan urgent. Ia sangat ta’dzim kepada Abah sampai suatu ketika ia pernah menabrak pot bunga yang berada di teras ndalem lantaran jalannya terlalu menunduk ketika melihat Abah berada di depan ndalem.
Terhitung sudah terlampau satu tahun Salwa nyantri di Ponpes asuhan Abah Zulfani. Namun, ia masih punya unek-unek yang sampai saat ini belum terpecahkan. Ia pernah menanyakan pertanyaan tersebut pada senior Pondok Putri al Muttaqin yakni mbak Lia. Tapi mbak Lia juga tidak berhasil menjawab bahkan menyuruh Salwa untuk bertanya kepada gus Rizki, putra dari Abah Zulfani yang kabarnya sangat digandrungi oleh para santriwati Ponpes Al-Muttaqin.
Benar saja, seperti kata pepatah, hendak ulam pucuk menjulai. Saat itu Sabtu sore setelah jama’ah sholat ashar, Salwa dipanggil oleh gus Rizki,
“Mbak Sal... Nanti setelah nderes al-Qur’an ke ndalem ya, katanya ibu mau bicara.”
Tanpa basa basi Salwa langsung menjawab,
“Njih gus, mangkeh ba’da nderes kulo langsung mriko.”
Setelah nderes al-Qur’an, Salwa langsung ke ndalem menemui Ibu Nyai. Setelah itu, Salwa hendak kembali ke Pondok. Namun ketika keluar dari ndalem terlihat gus Rizqi sedang bersantai menyeduh kopi di teras ndalem dan menyapa Salwa kembali,
“Bagaimana mbak Sal? Sudah bicara dengan Ibu?”
“Sampun, Gus," jawab Salwa
“Tadi bicara soal apa, Mba?” tanya gus Rizqi kembali.
“Oh, niku gus... Perihal jamuan acara manaqib besok malam.” Terang Salwa yang sedari tadi masih membungkuk sebagai wujud tawadhu’nya pada gus Rizki.
“Hmmm, iya mbak. Kemarin ibu cerita kalau ayam yang dimasak sampean itu enak banget. Makanya tadi disuruh manggilin sampean," timpal gus Rizqi
“Hehe. Alhamdulillah, Gus.” Salwa langsung refleks menimpali dengan perkataan,
“Kulo angsal tangklet sesuatu gus?” Ucap salwa dengan terbata-bata lantaran grogi bertanya kepada gus Rizki.
“Wah silakan mbak. Mau tanya apa? Kok grogi gitu,” jawab gus Rizki dengan tersenyum.
“Njih gus, rikuh sebenere ajeng tangklet pertanyaan niki. Cuman njih pripun malih sampun terngiang-ngiang e gus. Hehe," timpal Salwa yang sepertinya sudah mulai berkurang rasa groginya.
“Wah, kalau kata Kurt Cobain gini mba, sebenarnya ‘tidak ada yang takut ketinggian, mereka hanya takut terjatuh. Tidak ada yang takut mengatakan Aku Jatuh Cinta Padamu, mereka hanya takut pada jawabannya,” terang gus Rizki.
“Lho, maksud njenengan kulo cinta njenengan ngoten gus?” sahut Salwa kaget.
“Haha, yo ndak to mbak. Ini cuman pengibaratan saja, bahwa sepertinya sampean itu bukan takut bertanya, tapi takut respon saya bagaimana setelah sampean menanyakan pertanyaan itu. Bener kan?”
Sambil tersenyum Salwa mengiyakan perkataan gus Rizki kemudian ia bertanya,
“Begini gus, kenapa di Pondok Pesantren, ketika santri memanggil Kyai itu identik dengan kata abah?” tanya Salwa kepada gus Rizki.
Gus Rizki pun berpikir sejenak dan menjawab,
“Oh menurut saya begini mbak. Kalau identik itu dimaknai sama dan tidak berbeda sedikitpun, maka sebenarnya diksi itu kurang pas, karena juga ada beberapa Pesantren yang ketika santri memanggil Kyainya dengan panggilan Simbah Yai, Romo Yai, Kyai, Babah, Abah seperti tadi yang disebutkan mbak Salwa, ada juga dengan panggilan bapak karena dirasa santri bisa lebih dekat dengan panggilan tersebut. Mungkin lebih pasnya dengan diksi mayoritas ya mba, karena memang banyak sekali para santri yang memanggil Kyainya dengan panggilan Abah,” koreksi gus Rizki atas pertanyaan Salwa dan gus Rizki langsung melanjutkan penjelasannya,
“Saya dulu itu pernah membaca kitab yang bernama Kitabus Sab’ah fil Qira’atil Abbas bin Mujahid. Jadi melalui kitab itu Ibnu Mujahid berusaha mengambil ragam bacaan atau qira’at al-Quran hanya dengan merujuk pada tujuh macam qiraat yang masyhur pada masa itu. Dan di antara ketujuh imam qiraat tersebut adalah ada Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim, Nafi’, Al-Kisa’i, Hamzah dan Ibnu Katsir," terang gus Rizki.
“Oh, apa itu yang dinamakan qiraah sab’ah ya, Gus?” sahut Salwa.
“Iya bisa dikatakan begitu mbak. Lho mbak Salwa kok bisa tahu qira’ah sab’ah?” tanya gus Rizki penasaran.
“Njih gus, kulo kan mahasiswa IAT. Hehe,” jawab Salwa sambil tersenyum malu-malu.
“Lha trus, ingkang Abah wau pripun gus njih?” timpal Salwa.
Sejenak gus Rizki kembali menyeduh kopi dan kemudian melanjutkan penjelasannya,
“Nah begini mba, dalam kitabus sab’ah tadi, saya menemukan keterangan bahwa adanya perbedaan qira’at dalam membaca surat Yusuf ayat 4, khususnya pada lafadz ya abati. Seperti yang kita ketahui, ayat ini bercerita ketika Nabi Yusuf berkata pada ayahnya yakni Nabi Ya’qub bahwa beliau bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan yang kesemuanya bersujud kepada Nabi Yusuf,” terang gus Rizki.
Tiba-tiba Salwa menyahut, “Oh ayate niku nak mboten salah ingkang
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ؟"
“Nah leres sanget mbak Sal,” timpal gus Rizki sambil memberikan acungan jempol ke Salwa.
“Pada lafadz ya abati tersebut ternyata banyak terjadi khilafiyah, Ibnu Amir membacanya dengan di fathah huruf ta’ nya yakni dibaca ya abata, sementara al baqun (imam qira’at sisanya; Abu Amr, Ashim, Nafi’, Al Kisa’i, Hamzah dan Ibnu Katsir) membacanya dengan di kasrah ta’ nya yakni ya abati," jelas gus Rizki.
Semakin penasaran kemudian Salwa bertanya kembali, “Lantas apa korelasinya dengan kata abah gus?”
“Begini mbak Sal, lafadz tersebut ketika diwaqafkan, Imam Ibnu Katsir dan Imam Ibnu Amir mewaqafkannya dengan huruf ha’ menjadi ya abah. Ini berarti bahwa menurut versi kedua Imam Qira’at tadi, dulu Nabi Yusuf memanggil ayahnya yakni Nabi Ya’qub dengan panggilan Ya Abah,” jawab gus Rizki dengan senyum yang manis, semanis janji-janji pejabat. Wow!!
“Oalah, kok pada lafadz tersebut ada ta’ nya ya gus, itu ta’ apa dan kenapa bisa menjadi abah jika diwaqafkan gus?” tanya Salwa semakin penasaran.
“Iya, Mbak. Saya dulu pernah mencari ini di Kitab Tafsir al-Qurtubi di juz 11, saya menemukan keterangan bahwa menurut ulama Bashrah ta' itu adalah tanda mu'annats (feminim), dimasukkan ke dalam kata الاب yang berfungsi sebagai kata panggilan yang khusus, sebagai ganti ya' tambahan. An Nuhas berkata, “Jika kamu membaca ya abati (dengan ta’ yang berharakat kasrah), maka menurut Sibawaih adalah badal dari ya’ yang berfungsi sebagai tambahan, dan tidak boleh berhenti kecuali dengan mengganti huruf ha’. Selain itu Sibawaih juga memiliki beberapa alasan, diantaranya, kalimat : ya abah menunjukkan makna ya abii (wahai ayahku), dan tidak boleh menggunakan kalimah ya abati kecuali jika kata tersebut ma’rifah. Begitu juga tidak boleh diungkapkan dengan kata جاءني ابتي (ayahku datang menemuiku),” jelas gus Rizki.
Salwa mengangguk-angguk sementara gus Rizki kembali meneyeruput kopi namun tidak diakhiri dengan Akhhh. Setelah itu, ia kembali melanjutkan penjelasannya,
“Biasanya, orang Arab tidak memakai pola kalimat ini kecuali pada kalimat panggilan yang bersifat khusus. Selain itu, kalimat tersebut tidak diungkapkan menggunakan ياابتي sebab huruf ta’ adalah badal dari ya’ sehingga keduanya tidak boleh dikumpulkan. Selain itu, ada pula beberapa pendapat yang lainnya mba Sal, lebih jelasnya bisa dicek lagi di Kitab al Jami’ Li Ahkamil Qur’an atau yang sering kita sebut Tafsir al Qurtubi mbak, tepatnya di juz 11 halaman 245-246,” terang gus Rizki.
“Oalah njih, Gus. Matur suwun sanget sharing-sharingipun sonten niki, Gus. Kulo remen sanget. Hehe,” ucap Salwa.
“Iya, Mbak. Sebenarnya aku juga suka sharing-sharing seperti ini, tapi kebanyakan santri pada sungkan, akhirnya ya jarang yang mau sharing-sharing, kecuali sampean. Hehe,” kata gus Rizki sambil kembali menyeruput kopi yang sudah dingin sedingin sikap dia ke aku akhir-akhir ini, waduh!!
Setelah selesai berbincang-bincang, Salwa kembali ke kamarnya dan semakin mengidolakan gus Rizki. Ia bertekad ingin menikung gus Rizki di sepertiga malam. Ia selalu menyebut nama gus Rizki dalam doa tahajjudnya. Entah ini hanya sebuah harapan, atau mungkin bisa jadi kenyataan. Intinya ditirakati dulu, begitulah prinsip hidup Salwa yang selalu ia jalankan.
Penulis : Ahmad Nadlif (mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)