Emha Ainun Nadjib : Kiai Hologram



Judul Buku                  : Kiai Hologram

Pengarang                   : Emha Ainun Nadjib

Tahun Terbit               : Cetakan ke IV, November 2018

Penerbit                       : PT Bentang Pustaka

Jumlah Halaman         : 288 Halaman

ISBN                           : 978-602-291-468-6

 

Berbagai macam corak kehidupan manusia bagaikan anak panah yang tak tahu arah. Bahkan anak panah tersebut tidak pernah tahu ke mana tujuannya dan tak punya hak atas wewenang busur. Setiap sisi yang ada pada anak panah telah ditentukan oleh busur. Seperti itulah analogi sederhana Cak Nun tentang kehidupan manusia dalam meraih asanya. 

 

Untuk menggapai suatu asa, semua harus patuh pada ketetapan-Nya. Semakin ke sini, manusia akan semakin mendamba apa yang mereka inginkan. Berbagai macam cara mereka lakukan untuk memenuhi keinginan hidupnya. Hingga tanpa sadar hal itu melalaikan mereka dalam beribadah kepada-Nya sehingga etos ukhrawi menjadi etos duniawi. Padahal sejatinya urusan dunia tidak terlampau penting karena dunia itu sederhana, tergantung bagaimana kita menyikapinya.

 

Secara tidak langsung manusia telah membuat stigma bahwa urusan dunia begitu penting. Segala hal yang fiktif dan superfisial di muka bumi ini beralih menjadi kepentingan yang harus dicapai. Hal tersebut membuat manusia menjadi pribadi yang individualis. Berbagai macam kenistaan bahkan menjadi hal biasa untuk memenuhi ego sendiri, seperti dusta, suap, korupsi, nepotisme, dll. 

 

Cak Nun dengan gaya khas beliau mengatakan bahwa abad 20 dan 21 akan menjadi zaman Talbis. Di zaman tersebut Iblis mampu berpakaian rapi dan wajah berias layaknya malaikat. Di zaman Talbis inilah manusia suka berkamuflase untuk melakukan tipu daya terhadap manusia lainnya. Hal yang baik dianggap buruk, sedangkan hal buruk dianggap baik. Surga diperkenalkan sebagai neraka, sedangkan neraka diperkenalkan sebagai surga. Pahlawan dituduh pengkhianat, sedangkan pengkhianat dituduh pahlawan.

 

Manusia sudah tidak peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Nafsu duniawi membuat manusia sangat serakah, sehingga rasa ingin menjatuhkan sesama manusia sangatlah tinggi. Manusia terlalu serakah mengeksploitasi kekayaan bangsanya sendiri secara habis-habisan. Naluri kemanusiaan sebagai khalifah di bumi,  yang berperan untuk memelihara bumi dan penduduknya ternyata mampu dikalahkan oleh hasrat duniawi.

 

Buku Kiai Hologram diterbitkan sebagai bentuk ikhtiar untuk merefleksikan segala permasalahan kehidupan manusia, baik relasinya dengan sesama, tanah air, maupun dengan tuhan-Nya. Kiai Hologram terbit pada saat kondisi manusia haus akan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, Kiai Hologram hadir sebagai bahan untuk mengevaluasi diri kita semua. Di dalam buku tersebut menceritakan tentang Dmitry Itskov, yang merupakan seorang miliuner Rusia yang mempunyai keinginan menciptakan sebuah hologram. Dari itu, dia ingin membongkar suatu hakekat yang selama ini tersembunyi, yaitu bahwa manusia hanyalah sesosok hologram.

 

Terciptanya manusia Hologram adalah salah satu bentuk mengkritik Tuhan. Meskipun sudah menciptakan “manusia hibrida baru” yang “ahsanu taqwim”, manusia masih saja arogan terhadap sesama. Mereka terus merusak ekosistem dunia, gila akan kekuasaan, dan maniak dunia. Tak jarang mereka menumpahkan darah, menipu, merekayasa, menjajah, dan memonopoli. 

 

Esai yang dibuat oleh Cak Nun terkait Kiai Hologram mengajak pembaca untuk mengetahui tentang kehidupan manusia. Walaupun gaya penulisannya butuh pencernaan secara mendalam, tetapi isinya sangat membuka pikiran kita. Di dalamnya dikupas tentang manusia yang; mudah mengagumi dan mudah menjatuhkan; cepat mencintai dan membenci; viral secara instan, lalu menghilang dengan tiba-tiba; semua yang dikira transparan dan nyata bisa jadi semu belaka, dan sebaliknya.

 

Apalagi manusia saat ini tunduk di bawah bayang-bayang agama globalisasi. Demikian Cak Nun menyebutnya. Tuhan agama globalisasi menyebarkan paham-paham suci, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, liberalisme, dan seterusnya. Dari hal tersebut akan bercampur menjadi satu hingga manusia kecanduan pada ajaran agama globalisasi.

 

Padahal manusia itu dikaruniai akal yang sempurna untuk menimbulkan kesadaran spiritual dalam jiwanya. Kesadaran tersebut Allah uji Allah dengan materi duniawi. Supaya tidak menjadi Hologram seutuhnya, manusia harus melalui kehidupan duniawi dengan  rasa prihatin (tirakat). Hal tersebut  harus dilakukan oleh sosok pemimpin di negeri ini, supaya negerinya tentram dan damai. Jikalau pemimpin melakukan tirakat, maka bisa dipastikan mereka mampu mengatasi masalah-masalah di dalam negeri.

 

Pancasila merupakan pondasi yang kokoh untuk mengatasi problematika negara Indonesia. Sila pertama menggambarkan tentang ketuhanan yang satu, sesuai kepercayaan individu. Sila tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman kerukunan umat beragama. Sedangkan sila kedua hingga kelima merupakan pondasi untuk rakyat maupun pemimpin dalam kehidupan sosial di Indonesia

 

Ada julukan masyarakat Tahlil bagi orang yang mengandalkan syafaat Nabi Muhammad dalam urusan dunia dan akhiratnya, ketimbang mengandalkan sebuah negara. Menurut golongan tersebut, melakukan perilaku menyimpang di suatu negara akan mempermalukan dirinya sendiri dan negaranya. Oleh sebab itu, mereka berpedoman pada ucapan la ilaha illallah. Kalimat tahlil tersebut sejatinya menjelaskan bahwa manusia bukanlah hologram. Ketika kita mampu mencapai kesadaran spiritual, kita ibarat cahaya di mercusuar yang mampu menyinari lubang kerinduan terhadap sang Pencipta. Golongan mereka melakukan perintah Tuhan dengan ikhlas tanpa mengharapkan suatu imbalan, entah dunia ataupun akhirat. Kilaunya duniawi ini bagi mereka sudah tidak menarik lagi, bahkan malah menjadi hal yang sederhana.

 

Sebenarnya buku Kiai Hologram yang ditulis oleh Cak Nun mempunyai makna tersirat yaitu jadilah manusia yang polos tanpa terpengaruh oleh duniawi yang melalaikan. Supaya tidak menjadi manusia Hologram, diharapkan manusia mampu saling menyayangi dan mengayomi antara satu dengan yang lainnya. Hal ini semata-mata demi kemajuan diri, lingkungan, dan negara. Bukan malah mengutamakan ego hanya untuk menuruti nafsu duniawi, apalagi sampai merugikan lingkungan sekitar.

 

Oleh: Rahmat Ade (Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama