Tidak bisa dipungkiri, setiap dari kepala manusia di segala penjuru dunia mempunyai buah pemikiran yang beragam. Namun yang paling kontras melatarbelakangi sebuah mindset manusia ialah pengaruh peradaban, budaya, atau kepercayaan manusia. Hal ini dalam istilah penulis memakai sebutan “PSIKOLOGI MAYORITAS”. Semua aspek yang melatarbelakangi psikologi mayoritas kemudian melahirkan sebuah “pengalaman objektif” dalam diri manusia.
Seiring berjalannya waktu, psikologi mayoritas kemudian bergeser menjadi “klaim kebenaran objektif “ yang kerap dipegangi oleh sekelompok manusia. Clash!! Hal inilah yang kemudian banyak menjadi polemik berkepanjangan dalam peradaban manusia. Klaim tersebut merupakan klaim kebenaran tunggal yang kemudian menjadikan seseorang berwatak ngotot dan sulit menerima kebenaran. Lalu apa konsekuensinya? Yang sudah banyak terlihat ialah mereka akan mudah mengintimidasi dan menganggap kelompok lain sesat atau bermasalah. Contoh saja, kelompok yang suka men-judge kafir para peziarah qubur, orang yang tahlilan, pemakai busana seperti barat, juga orang yang tidak mengakui pancasila sebagai konstitusi negara.
Padahal sejatinya sebenarnya semua manusia atau kelompok hanya sanggup menciptakan paradigma kebenaran, bukan wajah kebenaran. Dengan kata lain, mereka hanya bisa meraih fakta yang relevan, bukan realitas kebenaran itu sendiri. (Thomas kuhn. The stucture of scientific revolution ;1962). Tentu pemahaman ini sangat relevan dengan aqidah Islam bahwa realitas kebenaran merupakan milik Tuhan. Sedangkan manusia hanya meraba–raba kebenaran realitas tersebut.
Ian G. Barbour dalam bukunya (Issue in Science and religion ;1966) berpendapat bahwa berbagai pengalaman objektif manusia harus melalui pengujian Intersubjektif. Pengujian tersebut meliputi trial and eror dan tesis-antitesis-sintetis. Pengujian dilakukan mengingat ruang lingkup manusia yang tidak selalu individual, namun juga akan bersinggungan dengan kehidupan yang prural. Karena apa pun yang menjadikan budaya lingkungan kita baik, belum tentu saat di tempat lain bisa berimbas baik pula. Maka dari itu, manusia selalu dituntut untuk mengembangkan sistem perilaku dan kesadaran yang relevan bagi hidupnya. Hal itu berlaku di manapun berada tanpa harus sombong maupun mengintimidasi perbedaan, yang merupakan wujud kebhinekaan kita.
Al-Quran telah melandasi sikap di atas dalam QS Al – Hujurat : 13 yang berbunyi: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki – laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.” Dalam tafsir Al-Wajiz karya Syaikh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, disebutkan bahwa maksud dan tujuan ayat ini adalah perbedaan pemikiran, peradaban, ras, dan suku bertujuan untuk saling mengenal dan menghargai keragaman atas nama kebaikan dan ketaqwaan. Ayat tersebut secara tersirat melarang untuk angkuh karena yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa.
Dari naskah di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan. Pertama, segala sesuatu baik itu peradaban, pemikiran maupun budaya bisa dijadikan prinsip atau pandangan hidup manusia. Dengan catatan, mereka tidak mengintimidasi orang lain dan toleran terhadap paham orang lain karena itu bisa merekontruksi kesadaran kita dalam bertindak. Kedua, tindakan klaim kebenaran tunggal merupakan tindakan yang merusak secara personal maupun plural atau yang biasa disebut tindakan bunuh diri intelektual.
“Islam sebagai agama 'Hanif', yang sejatinya mengajarkan pemeluknya tak memutlakkan pemahaman kesilamannya sendiri. Klaim semacam itu justu menjurus pada sikap pengabsolutan diri sendiri, yang menjadi ciri kaum tiran (thaghut),” (Nur Cholis Majid)
Oleh : Ahmad Mahmud Al Hamidy_ Al Lamunjany
Subhanallah, mantab mas bacaannya
BalasHapus