KRITIK PSIKOLOGI MAYORITAS BAGIAN (II) : MENANAMKAN KESADARAN UNIVITE

"Teruskan saja, nada bicaramu yang “seharusnya” dan “seharusnya”. Dikte saja semua yang mengganggu eksistensi idealismu. Kebiri saja semua upaya yang berani menyenggol ketinggian pamormu. Rasakan saja!! Ssebenarnya dirimulah yang terlelap, tenggelam dalam tempurung tak menyentuh realitas sosialmu!!!"

Pembenaran tunggal pada diri atau golongan yang mengatasnamakan eksistensi individual, kelompok, maupun kader Tuhan, sudah sekian kali terang–terangan menampakkan kerancuan berpikir. Selain itu perilaku mereka justru menujukkan kemungkaran terhadap sosial kemasyarakatan masing–masing. Meski demikian, harus kita akui bahwa selalu ada tunggangan kepentingan politik yang membersamai tindakan tersebut. Namun, kasus–kasus tersebut masih saja  merangsang pemikiran kaum awam lainnya dalam  menanggapi ketidakpuasan duniawi. Pembacaan yang dangkal terhadap pandangan serta situasi di luar pengetahuannya adalah masalah utama dalam kasus ini. Lantas, counter apakah yang patut kita berikan dalam menanggapi hal tersebut?

Tulisan saya kali ini sangat terinspirasi dari buku “Jika Tuhan Maha Kuasa, Kenapa Manusia Menderita?” karya Gus Ulil Abshar Abdalah. Buku tersebut mengantarkan saya pada suatu kajian yang objektif (sehingga bisa benar bisa salah). Jadi, counter agar kita bisa meminimalisir problem psikologi mayoritas tersebut ialah dengan menanamkan kesadaran Univite. Dalam hal ini, secara bahasa yang saya maksud ialah “kesatuan”, bahwa kesadaran yang mestinya ada dalam pikiran kita ialah segala sesuatu di alam raya ini. Hal ini baik wujud, keilmuan manusia, serta ragam corak budaya merupakan bentuk tajalli Tuhan yang satu, terhadap makhluk-Nya. Walaupun dalam kenampakannya manifestasinya sangat beragam. 

Baca Juga : Kritik Psikologi Mayoritas Bagian 1

Tentunya, konotasi yang terbentuk dalam hal di atas bukanlah kenampakan dzat Tuhan, melainkan sifat–sifat Tuhan pada setiap makhluk di alam raya. Dalam hal ini, tentu kita akan berpikir ulang mengenai alasan–alasan ketika kita menjumpai perbedaan, misalnya membeda–bedakan ilmu pengetahuan. “Ilmu ini berasal dari barat. Maka, barangsiapa yang mempelajarinya maka kafir” (contoh saja). Lalu bukankah semua ilmu baik dari timur, barat, serta penjuru lainnya bersumber dari ‘Ilmu Tuhan yang Azali? Bukankah justru berbagai ilmu itu ikut andil dalam menyingkap kebesaran dan kekuasaan Tuhan?"

Mari coba untuk memikirkan hal di atas sekali lagi, misalnya dalam hal berbangsa dan negara. “Kita harus menegakkan syariat Islam dengan sistem Khilafah, karena sistem berbangsa dan bernegara selain itu adalah kekuasaan yang dzalim dan thagut” (sekali lagi, contoh saja). Kemudian bagaimana dengan budaya serta kepercayaan yang beragam dalam negara ini? Apakah bisa menjamin dengan keadilan kalangan minoritas tersebut? Bukankah sudah pas dengan sistem demokrasi, Indonesia bisa menjunjung tinggi persaudaraan dan kemanusiaan? Mari kita coba untuk memikirkannya sekali lagi. 

Hemat saya, pemikiran–pemikiran di atas hanya akan membuat kita semakin jauh dari sifat–sifat Tuhan yang seharusnya menjadi teladan dalam menjalani kehidupan di dunia. Maka, bisa dikatakan bahwa dengan psikologi yang rancu seperti itu, hanya akan membuat kita tenggelam dengan pembenaran diri. Tidak mau tau dengan perkembangan situasi sosial, tidak lagi mengkaji ulang permasalahan realitas yang dinamis, dan menganggap semua hal yang di luar pengetahuannya itu bermasalah.

Maka tentunya, dengan kesadaram Univite tersebut kita bisa sedikit merefleksi apa yang digaungkan oleh Gus Dur mengenai “Pribumisasi Islam”. Dengan gagasan tersebut, Gus Dur hendak menjadikan umat Islam tidak terpaku secara eksklusif  pada persoalan pembenaran diri sendiri. Tidak pula berpandangan sempit dalam menyikapi realitas serta menerapkan ilmu penyerapan terhadap realita budaya di Indonesia. Tujuannya agar agama Islam tidak kehilangan peran dalam perkembangan kehidupan sosial salah satunya yaitu dengan mempertemukan agama dan budaya. Caranya ialah dengan bersinergi dalam membentuk rekayasa sosial kemasyarakatan yang secara substantif bernilai ketauhidan, berkeadilan, persatuan, kemanusiaan, kesetaraan, dan pembebasan. 

Memang sudah seharusnya kita selalu mengkaji ulang betapa berhasilnya Gus Dur menggaungkan nilai kemanusiaan pada bangsa ini. Betapa luasnya efek akulturasi budaya oleh walisongo yang menyebarkan Islam ke se-antero Indonesia. Betapa kuatnya peran pesantren dalam menggandeng budaya, sehingga dapat bersinergi dalam menjadi rekaya sosial yang mashlahat tentunya. 

Jadi, dari seluruh pembahasan dapat disimpulkan bahwa semua ide besar ialah penerapan ilmu penyerapan terhadap budaya, nilai, ilmu pengetahuan yang di luar diri sendiri. Hasilnya, psikologi yang terbentuk ialah keragaman sebagai tajalli Tuhan. Oleh sebab itu, kita harus terus merumuskan ulang sistem agar dapat meneladaninya sebagai bentuk taklif kita pada sifat-sifat  Tuhan.

Oleh : Ahmad Mahmud Al-Hamidy Al-Lamunjany (Mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang


1 Komentar

  1. Best bets for soccer today - Sports Toto
    Today, we're going to worrione tell you a few key to checking herzamanindir.com/ into soccer betting apps. casino-roll.com of febcasino the most popular soccer betting 오래된 토토 사이트 options and which ones will

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama