Kritik Quraish Shihab atas Pendapat yang Melarang Poligami

Munculnya penafsiran Quraish Shihab, terkait rangkaian awal surat al-Nisa ini ditandai dengan menggeliatnya gerakan feminisme di Indonesia pada tahun 1999. Gerakan feminisme salah satunya dilakukan oleh Musdah Mulia, di mana ia mencoba untuk melakukan reinterpretasi atas teks-teks al-Qur’an. Ia juga mengkritik draf Kompilasi Hukum Islam (counter–legal draf KHI) dan juga menerbitkan buku dengan judul Islam Menggugat Poligami.

Ayat al-Qur’an yang paling populer membicarakan tentang kasus poligami adalah QS. al-Nisa (4): 3, yang berbunyi

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Dalam kajian pembahasan masalah poligami hendaknya ditinjau dari sudut pandang penetapan hukum secara teoritis dengan melihat kondisi yang mungkin terjadi, artinya kajian poligami tidak boleh dipandang dari segi ideal atau baik dan buruknya.[3] Ada beberapa cara dalam memahami praktik poligami yang disebutkan dalam QS. al-Nisa 4:3. Quraish Shihab membaginya menjadi empat bagian

No

Metode/ Cara

Penjelasan

1

Dengan menempatkan ayat dalam konteks objek yang dituju

Ayat ini berkaitan dengan anak yatim (konteks yang dituju). Tidak boleh menikahi anak yatim yang mereka sukai karena kecantikan dan juga hartanya tetapi tidak mau untuk berlaku adil terhadap mereka.

2

Aksentuasi ayat

 

Quraish Shihab melontarkan pertanyaan kepada mereka yang mengatakan bahwa poligami merupakan kesunnahan. “Apakah mereka benar-benar ingin meneladani Rasulullah dalam pernikahannya?”, perlu dipahami bahwa Rasulullah berpoligami setelah sepeninggalan istri beliau, Sayyidah Khadijah ra. Quraish Shihab menegaskan bahwa, Perintah menikahi wanita yang disukai  dua, tiga atau empat, pada ayat ini sama sekali tidak mengandung kewajibkan ataupun anjuran untuk berpoligami.

3

Melihat konteks sosio-historis masyarakat Arab pra-Islam

 

Ayat ini tidak membuat regulasi tentang poligami karena praktik poligami sudah mengakar di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Sehingga dalam hal ini Quraish Shihab yang pada mulanya menggunakan perspektif sabab al-Nuzul beralih menggunakan latar belakang sosio historis.

4

Melihat persoalan “keadilan” dalam praktik poligami

Terkait term adil, yang terdapat dalam QS. al-Nisa 4:3 yang telah disebutkan di atas, Quraish Shihab menafsiri lafal “tuqsiṭū” dan “tu’dilū” dengan kata adil. Walaupun demikian, ada silang pendapat  yang terjadi dikalangan mufassir, ada yang membedakan, ada pula yang mengartikan sama. Adapun dalih bagi yang membedakan,  tuqsiṭū adalah sikap berlaku adil kepada dua orang atupun lebih, yang dapat membuat hati mereka bahagia. 

Sedangkan kata tu’dilū adalah sikap adil kepada diri sendiri maupun terhadap orang lain, bentuk keadilan itu tidak harus diberikan kepada semuanya, artinya terkadang hanya diberikan kepada satu pihak saja. Keadilan yang dimaksud adalah  keadilan yang dapat diukur yaitu bersifat material bukan keadilan immateril yang sering disalah artikan oleh sementara orang.


Melihat perkembangan yang terjadi pada saat itu, apakah tafsir al-Mishbah dihadirkan untuk mengcounter gerakan feminisme yang berkembang di bumi Nusantara? Dalam hal ini tidak ada bukti kuat yang mengarah kepadanya. Namun jika kita melihat karya lain dari Quraish Shihab yang berjudul Perempuan (2005), ada kritik yang disampaikan di dalamnya atas pandangan tokoh yang menganggap  poligami merupakan hal yang dilarang. Di dalam buku Perempuan, Quraish Shihab menghadirkan pertanyaan yang ditunjukkan kepada mereka yang keliru dalam menginterpretasi ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang berkaitan dengan poligami. Hal ini tertuang dalam pernyataan berikut:

“Apakah mereka menduga bahwa Rasul Sallā ‘Alaihy wa Salām. dan sahabat-sahabat beliau itu tidak memahami maksud ayat di atas? Apakah mereka beranggapan bahwa sahabat Nabi yang berpoligami itu telah melanggar bunyi teks ini? Jawabannya kita tunggu dari mereka!” (Quraish Shihab dalam bukunya: Perempuan (2015)

Penggalan ayat 129 dalam surat al-Nisa seringkali dijadikan sebagai alasan oleh beberapa kelompok feminisme atas pembenaran larangan berpoligami.

وَلَن تَسْتَطِيعُوٓا۟ أَن تَعْدِلُوا۟ بَيْنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.

Baca Juga: Pada Penghujung Ramadhan

Beberapa klompok feminis menjadikan penggalan ayat di atas sebagai pendukung atas pelarangan praktik poligami. Alasannya, keadilan dalam berpoligami itu tidak akan mungkin bisa terwujud. Quraish Shihab menyatakan bahwa pendapat semacam ini dipandang sebagai pemahaman yang jauh dari kebenaran karena mengabaikan pemahaman yang utuh, tidak ada pemahaman terkait lanjutan potongan ayat di atas, yang menyatakan:

فَلَا تَمِيلُوا۟ كُلَّ ٱلْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلْمُعَلَّقَةِ

“Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”.

Lanjutan ayat ini, mengisyaratkan bahwa maksud dari keadilan tidak akan mungkin bisa terwujud adalah keadilan yang bersifat kualitatif (keadilan immateril) yaitu cinta kasih, atau sebuah perasaan hati yang tidak mungkin bisa diukur oleh statistik, karena hal itu diluar kemampuan manusia. Quraish Shihab berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan keadilan dalam praktik poligami yaitu hanya mencakup pada aspek kuantitatif (keadilan material) semata, yang memang hal itu dapat diukur.  

Kritik Quraish Shihab terhadap segelintir kelompok yang melarang praktik poligami tersimpulkan dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa menetapkan syarat-syarat bolehnya praktik poligami, dengan tidak melonggarkan ketentuannya, itu merupakan jalan pilihan yang tepat daripada melarangnya secara mutlak. Quraish Shihab juga mengutip pendapatnya Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal al-Syakhshiyyah, menyebutkan bahwa praktik poligami bukanlah hal yang mudah, namun hal itu tidak sampai menyebabkan poligami dilarang.


Oleh: Eka Mulya Yunus (Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama