Siapa bilang seorang mufassir hanya berasal dari negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Thosihiko Izutsu contohnya, seorang ilmuan jenius dari negeri sakura yang mampu menafsirkan Al-Quran. Seperti yang kita ketahui, negeri sakura adalah sebutan untuk negeri Jepang. Sedangkan Jepang sendiri memiliki mayoritas penduduk non muslim, namun hal tersebut tidak menghalangi niat baik untuk tetap berkarya dalam dunia penafsiran.
Mungkin banyak di antara kita yang belum mengenal seorang tokoh Thosihiko Izutsu. Seorang mufassir Al-Quran yang lahir pada tanggal 4 Mei 1914 di Tokyo, Jepang. Thosihiko juga memiliki kemampuan untuk menguasai 30 bahasa, di antaranya bahasa Persia, Sansekerta, Cina, Rusia, Yunani, dan Pali. Dengan kemampuan yang dimiliki, Thosihiko dapat meneliti berbagai budaya di dunia dan dapat menerangkan berbagai sistem keagamaan.
Tidak hanya menjadi seorang mufassir, dalam waktu yang singkat Thosihiko mampu menghafal Al-Quran 30 juz setelah satu bulan belajar bahasa Arab. Dalam jangka waktu yang sama, Thosihiko mampu menerjemahkan Al-Quran, walaupun tidak secara langsung dalam satu waktu. Namun hal tersebut menjadi kelebihan tersendiri bagi seorang non muslim yang ingin mendalami dan menafsirkan ilmu Al-Quran.
Setiap mufassir pasti memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan Al-Quran, begitu pula dengan Thosihiko Izutsu yang memiliki pemikiran untuk menggunakan sistem semantik Al-Quran. Sistem ini lebih mengutamakan analisis linguistik, yaitu dengan cara menerjemahkan dan meneliti arti kata yang satu dengan yang lainnya.
Baca Juga: Jalin Silaturahmi, Keluarga Besar IAT Adakan Halalbihalal (Rike Saidatur Rohmah)
Pembahasan yang digunakan juga memiliki kriteria tersendiri dalam menafsirkan Al-Quran. Kriteria-kriteria tersebut di antaranya yaitu menggunakan teori yang teliti, tegas, dan memperkaya data untuk lebih menguatkan persepsi sesuai hasil pemikiran yang telah diungkapkan. Dilihat dari segi ilmu bahasa yang diterapkan oleh Thosihiko, membuat tafsir yang dianalisis memiliki nilai lebih karena mampu mengambil daya tarik para pembaca.
Selain daya tarik, bahasa juga berperan penting dalam sebuah karya. Dengan begitu, para pembaca akan lebih mudah memahami makna dan pelajaran yang ingin disampaikan oleh mufassir mengenai kandungan ayat. Hal ini sudah dipikirkan sebelumnya oleh Thosihiko, karena tujuannya yang ingin mempermudah manusia untuk lebih mudah dalam memahami dan menerapkan isi kandungan Al-Quran.
Menurut Toshihiko, metode semantik Al-Quran juga dikaitkan dengan metode weltanschauung, yang memiliki arti "prinsip hidup". Dengan demikian, ia mempercayai bahwa bahasa, budaya, dan adat istiadat mempengaruhi prinsip dalam hidup, karena tiga hal tersebut memiliki keterkaitan dalam kebiasaan hidup sehari-hari.
Atas kerja keras dan keyakinan dalam mengkaji dan mendalami Al-Quran, Thosihiko menggunakan sistem penafsiran dengan akal. Walaupun sebagian ulama tidak setuju dengan metode tersebut, namun kasus ini dapat diselesaikan dengan syarat, menggunakan ilmu kaidah bahasa Arab yang baik dan benar, serta mampu mendalami makna dari ayat yang akan ditafsirkan.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat tentang Profil Fazlur Rahman
Dari konsep penafsiran Thosihiko yang cenderung kontemporer dan menggunakan semantik linguistik, tentunya akan menghasilkan karya berbeda dari konsep klasik yang digunakan mufassir sebelumnya. Semua itu dapat dibuktikan dengan karya Thosihiko yang lebih lengkap dan lebih terkonsep, walau pada kenyataannya tidak bisa mengetahui makna Al-Quran secara menyeluruh, kecuali pada konsep tertentu.
Ketika pertimbangan tersebut terus terjadi, para ulama memutuskan standardisasi menjadi seorang mufassir dan hasil karyanya dapat diterima oleh kaum muslim pada umumnya. Kemudian tradisi penafsiran dibagi menjadi dua, yang pertama tafsir bil ma’tsur yang berdasarkan riwayat, dan yang kedua yaitu tafsir birra’yi, yaitu berdasarkan ijtihad mufassir. Hal ini disebabkan karena segala sesuatu belum tentu dijelaskan nabi Muhammad sebelum wafat. Apabila tafsir birra’yi dilarang, maka para sahabat termasuk dalam sesuatu yang haram. Dengan begitu, karya Thosihiko dapat diterima di kalangan kaum muslim. Di samping itu juga, sumbangsih pemikiran Thosihiko telah memberikan kontribusi perkembangan tafsir Al-Quran di negeri sakura.
Oleh: Uswatun Khasanah (Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)