Mantik Ilmu bagi Hayawan Al-Nāthiq

Sering kali manusia didefinisikan sebagai hayawan al-nāthiq. Jika memahami secara mantik (pemahaman sesuai teks) atau mengartikannya secara literal dari ungkapan di atas, kita akan memperoleh pemahaman bahwa manusia adalah hewan yang dapat berbicara. Hal ini sesuai jika kedua istilah tersebut diartikan dengan hayawan yang memiliki arti hewan atau binatang, dan al-nathiq sebagai isim fail (pelaku) dari kata dasar nathaqa-yanthiqu yang berarti  berbicara, berucap, atau bertutur kata.

Namun, apakah pemahaman ini relevan jika manusia disamakan dengan hewan? Bukankah hewan juga berbicara dengan menggunakan bahasa mereka sendiri? Seperti yang telah Allah jelaskan dalam Al Qur'an, bahwasanya Nabi Sulaiman telah diwarisi oleh ayahnya (Nabi Daud), yang mengerti ucapan dari bahasa burung. Mengenai hal tersebut Allah berfirman dalam QS. An-Naml [27] :16) 

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ ۖ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ

Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung, dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya, semua ini benar-benar suatu karunia yang nyata".

Di samping itu kita juga diharapkan untuk memaknai ungkapan di atas dengan segi mantik (makna tersirat), tetapi juga memaknai dengan segi mafhum (pemahaman). Lalu bagaimana pemahaman yang benar dari ungkapan di atas?

Baca Juga: Jalin Silaturahmi, Keluarga Besar IAT Adakan Halalbihalal

Mengutip penjelasan dari Imam Abu Hamid Al- Ghazali rahimahullah juga berpendapat demikian, Al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia sebagai hayawan al-nāthiq, yakni hewan yang berfikir. Kata hewan yang dimaksud bukanlah hewan bermakna binatang, melainkan bermakna makhluk yang dapat berbicara, yang kemudian dibedakan dari makhluk lainnya oleh Allah SWT dan diberi akal. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, oleh karena itu manusia menjadi makhluk yang paling sempurna di antara seluruh makhluk yang ada.

Terkait hayawan al-nāthiq, pengertian akal adalah sebuah anugerah terbesar yang dimiliki manusia, karena dengan akal manusia dapat menentukan kebenaran. Dengan catatan, harus sesuai aturan dan cara berpikir yang benar, sehingga dapat membawa kepada kebenaran. Untuk mengaplikasikan fungsi akal secara maksimal, terdapat sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang membahas tentang tata cara berpikir rasional dengan benar, yang sering kita kenal dengan sebutan ilmu mantik atau logika. Salah satu fungsi dan manfaat dari ilmu ini adalah untuk menghindari kita agar tidak melakukan kesalahan dalam berfikir. Dalam bahasa asing disebut dengan fallacy (Inggris) atau al-khatha’ fi al-qiyas (Arab). (Dikutip dari buku yang berjudul Logika, karya Drs. H Mundiri (2010))

Secara general terdapat tiga macam kekeliruan berfikir yaitu, kekeliruan berfikir formal, informal dan kekeliruan karena penggunaan bahasa. Pada pembahasan kali ini, kita fokus kepada tiga kekeliruan berfikir informal yang kiranya kerap kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, fallacy of hasty generalization (generalisasi yang terburu-buru). Kekeliruan berpikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit.

Contohnya, "Dia orang Islam, dia melakukan tindak pembunuhan. Kalau begitu Islam memang jahat". Ini adalah hasil kekeliruan berfikir dalam mengambil kesimpulan, karena agama Islam yang lingkupnya general tidak bisa disimpulkan hanya karena adanya sedikit masalah individual. Maka dari itu, jangan terburu-buru membuat generalisasi, apalagi kesimpulannya melampaui batas lingkungan.

Kedua, fallacy of forced hypotesis (terlalu memaksakan praduga). Kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran dari suatu dugaan. Sering terjadi sebagian praduga buruk kita yang sifatnya belum jelas, namun kita menilainya adalah sebuah kebenaran. Al-Qur'an telah mengomentari sekaligus melarang umat agar menjauhi prasangka yang buruk serta tidak jelas sifatnya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al-Hujurat [49] : 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضً ....الخ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.”

Baca Juga: Mufassir Al-Quran dari Jepang

Ketiga, fallacy of abusing (menyerang kepribadian). Kekeliruan berpikir ini, karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang kepribadiannya. Seperti contoh berikut, "Dia adalah orang yang susah diatur, jangan dengarkan omongannya". Seringkali pendengar mengabaikan isi pembicaraan. Apabila sang pembicara adalah orang yang terkenal dengan akhlak buruk, perangainya tidak menyenangkan, sering melakukan perbuatan buruk, dan lain sebagainya.

Seperti halnya memaksakan kehendak, menyerang pribadi orang lain juga merupakan bentuk kekeliruan berfikir. Larangan ini kita dapati dalam  QS. Al-Hujurat ayat 12, yang menjelaskan tentang larangan menggunjing kepada sesama walaupun yang dikatakan adalah benar. Dengan begitu, seseorang diharapkan obyektif dalam menyikapi sesuatu, karena dalam hal tersebut terdapat hikmah yang terucap dari seseorang yang kita anggap buruk.

Waallahu A'lam bishowwab...


Oleh: Muhammad Izzudin (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama