Ketika Idulfitri tiba, kita merayakan momen ini diwarnai dengan berkumandangnya takbir, tasbih, dan tahmid sepanjang hari. Hal tersebut sudah mainstream dilakukan oleh seluruh umat Muslim di dunia. Tetapi, ada khas yang berbeda bagi umat Muslim di Indonesia ketika datangnya Idulfitri, tradisi tersebut ialah halalbihalal. Menurut terminologi, halalbihalal sama halnya dengan silaturahmi, tetapi masyarakat Muslim Indonesia memiliki terminologi yang berbeda.
Meskipun halalbihalal terkesan menggunakan bahasa arab, tetapi istilah dan tradisi tersebut hanya berada di Indonesia. Kita tidak akan menemukan pembahasan tersebut di literatur ilmu agama. Bahkan orang arab sekalipun tidak mengetahui istilah tersebut, karena istilah tersebut tidak ada di kamus mereka atau mungkin tidak pernah terdengar di telinga mereka.
Pengertian halalbihalal di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah
hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Biasanya diadakan
di sebuah tempat seperti masjid, aula, dsb oleh sekelompok orang. Tradisi ini
merupakan produk asli kaum Muslim yang hanya diselenggarakan di Indonesia tiap
momen hari raya Idulfitri.
Baca juga : Renungan Dr. H. Abdul Muhaya di Acara Halalbihalal
Menurut histori, awal munculnya istilah tersebut diprakarsai oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, yaitu KH Wahab Chasbullah pada tahun 1946. Pada saat itu, Indonesia sedang diterpa disintegrasi bangsa di mana para elit politik saling bertengkar dan pemberontakan terjadi di mana-mana oleh ormas yang radikal.
Pada pertengahan Ramadhan 1946, sebagai figur ulama yang dihormati
masyarakat, K.H. Wahab Chasbullah diajak berunding oleh Presiden RI Soekarno
untuk mengatasi situasi politik yang berpolemik tidak sehat. Pada awalnya Kiai
Wahab Chasbullah memberi saran untuk mengadakan Silaturahm. Hal ini dikarenakan
sebentar lagi hari raya Idulfitri, di mana semua umat Islam disunahkan
bersilaturahmi. Kegiatan silaturahmi tepat sekali dilaksanakan pada saat itu,
dikarenakan keadaan para elit politik sedang panas dan terbelit pertengkaran, yang mengakibatkan tak mau berdialog satu forum.
Tetapi kata Soekarno, “istilah Silaturrahmi sudah terlalu mainstream
digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia”. Lalu pada saat itu juga Kiai Wahab
Chasbullah mengubah istilah silaturahmi menjadi halalbihalal. Seperti
terpancar cahaya setelah terkurung di dalam goa yang sangat lama. Begitulah
cerminan situasi pada kala itu dan Soekarno pun setuju dengan istilah tersebut. Lalu
pada saat hari raya Idulfitri 1946 itu, Soekarno mengundang semua tokoh elit politik untuk datang ke Istana Negara untuk bersilaturahmi. Acara itu bertema
“Halalbibalal”.
Baca juga : Mengambil Hikmah dari Sifat Anjing
Semenjak itu, staf-staf Presiden Soekarno terus menyelenggarakan acara
halalbihalal secara teratur setiap hari raya Idul Fitri tiba. Iktikad baik akan
menghasilkan energi baik. Para elit politik pun akhirnya bisa berdialog
bersama dalam satu forum akibat halalbihalal pada kala itu. Silaturahmi bertema
halalbihalal itu kemudian ditirukan masyarakat secara luas. Tidak hanya umat
muslim di Jawa, bahkan terus meluas. Soekarno memobilisasi budaya halalbihalal
melalui ruang lingkup pemerintahan, sedangkan Kiai Wahab Chasbullah
menggerakkan masyarakat dari bawah. Jadilah halalbihalal sebagai kegiatan masif
dan budaya Indonesia saat hari raya Idulfitri seperti sekarang. Buya Hamka
diakui salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam mempopulerkan
halalbihalal ke masyarakat.
Acara seperti ini juga diharapkan bisa lebih mempererat tali
persaudaraan, kemanusiaan, dan kebangsaan, yang dikenal dengan ukhuwah
islamiyah, basyariyah, dan wathaniyah dalam rangka momen untuk saling maaf-memaafkan dan menyambung kembali silaturahmi yang pernah terputus, setelah
menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Karena Rasulullah pun telah
bersabda tentang keutamaan silaturrahmi/halalbihalal, yang berbunyi:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ
وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin dilapangkan
rezeki nya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan
(silaturahim).” (HR. Bukhori)
Kesimpulan dari hadits di atas yaitu perintah untuk selalu menjalin
silaturahmi kepada keluarga dan semua orang dan juga ada keutamaan silaturahim dalam hadis tersebut yaitu diberikan keluasan rezeki dan diberi keberkahan dalam kemudahan dalam usianya.
Apapun histori yang melatarbelakangi munculnya tradisi dan istilah ini di tanah Indonesia adalah tradisi bangsa yang sangat bagus. Hal ini harus dilestarikan sampai kapanpun, sebagai dalil bahwa agama tidak bertentangan dengan budaya lokal, bahkan justru ikut membangun tumbuh kembali.
Oleh : Muhammad Nabih Zaky Al-fikri ( Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang )