Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah atau sering dikenal dengan nama Muhammad Abduh merupakan seorang teologi Muslim. Ia juga seorang mufti Mesir, tokoh penting dalam teologi dan filsafat yang menghasilkan Islamisme modern. Ia dilahirkan pada tahun 1849 M di Mahallat Al-Nasr daerah kawasan Sibrakhait, Al-Bukhairah Mesir.
Ayahnya bernama Hasan Khairullah berasal dari Turki dan ibunya bernama Junainah berasal dari Bangsa Arab. Berdasarkan referensi sejarah, ketika Muhammad Abduh dilahirkan terjadi kekacauan yang terjadi di Mesir. Penguasa pada waktu itu, Muhammad Ali, mengumpulkan pajak yang memberatkan penduduk desa setempat. Akibatnya, banyak petani yang bepindah-pindah tempat untuk menghindari pajak tersebut. Hal itu juga terjadi pada keluarga Muhammad Abduh. Sehingga pada akhirnya mereka menetap di Desa Mahallat Al-Nasr.
Muhammad Abduh lahir di kalangan keluarga petani yang tidak jauh seperti pendahulunya. Akan tetapi ia ditugaskan untuk menuntut ilmu, di saat saudara-saudaranya membantu ayah mengelola lahan pertanian. Pada umur 12 tahun, ia sudah mampu menyelesaikan hafalan Al-Quran. Walaupun dibesarkan bukan dari keluarga dengan pendidikan tinggi ia mampu menjadi pembeda.
Baca Juga : Mufassir dari Jepang
Muhammad Abduh menikah pada usia 16 tahun, namun ayahnya selalu memaksa agar melanjutkan studi. Kemudian ia melarikan diri ke Mahallat Al-Nasr dan di sana ia bertemu dengan Syekh Darwisy Khidr yang juga merupakan pamannya sendiri. Setelah itu ia melanjutkan studi di Al-Azhar pada Februari 1866 setelah menyelesaikan studi di Thanta. Di Al-Azhar, ia merasa kecewa karena metode pengajaran di sana seperti pada saat ia belajar di Thanta. Pada tahun 1872, ia berkenalan dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kemudian menjadi muridnya. Keduanya saling berdiskusi tentang berbagai masalah.
Dari pertemuan Muhammad Abduh dengan Jamaluddin, ia banyak mendapat ilmu sekaligus mewarisi ide-ide gurunya. Di antara bidang ilmu yang diwariskan adalah ilmu filsafat dan ilmu kalam. Ketika gurunya menjelaskan secara langsung, Muhammad Abduh lebih dapat memahami apa yang disampaikan daripada belajar secara otodidak.
Dalam masa hidupnya, Muhammad Abduh sangat membenci dan menentang sikap taklid yang terjadi pada umat Islam. Hal tersebut telah ia rasakan ketika masuk di Universitas Al-Azhar, di mana ia mendapati dua golongan dalam sudut pandang yang berbeda. Pertama, kaum mayoritas yang penuh dengan taklid dan hanya mengajarkan kepada para siswa pendapat-pendapat ulama terdahulu yang sekadar dihafal. Kedua, kaum minoritas yang suka akan pembaruan Islam yang mengarah kepada penalaran dan pengembangan rasa.
Selain pengetahuan teoritis yang diajarkan Jamaluddin Al-Afghani kepada Muhammad Abduh, ia juga mengajarkan pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis artikel, dan lain sebagainya. Kegiatan ini tidak hanya melatihnya untuk tampil di depan publik, tetapi juga secara langsung mendidiknya untuk jeli melihat situasi sosial politik di negerinya. Metode pengajaran yang diterapkan Jamaluddin dinamakan dengan metode praktis (Amaliyyah) yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi.
Baca Juga : Ibnu Katsir dan Kiprahnya dalam Dunia Penafsiran
Mengenai karyanya banyak yang telah dibuat di antaranya: Risalah Al-Waridah (1874), Syarah Kitab Al-Basyir Al-Nasriyyah Fi Ilmi Al-Mantiq (1898), Syarah Najh Al-Balaghah (1885), Syarah Maqamat Badi’ Al-Zaman Al-Hamdani (1889), Risalah Al-Tauhid (1969), Taqrir Fi Islah Al-Mahakim Al-Mantiq (1900), dll.
Tidak dapat dipungkiri Muhammad Abduh telah memberikan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan keIslaman. Ia memiliki kelebihan dalam menyampaikan ilmu-ilmu yang diperoleh dari gurunya, Jamaluddiin Al-Afghani.
Oleh : Aldi Hidayatulloh (Mahasiswa Ilmu Al-Quuran dan Tafsirr UIN Walisongo Semarang)