Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap Al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam.
Oleh karenanya tak heran apabila sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran Al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Muhammad Qadirun Nur di dalam bukunya mengatakan bahwa “Salah satu dari macam ilmu tafsir yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an adalah Tafsir Al-Isyari. Dalam pembahasan kali ini, kami penulis akan mengangkat pembahasan tentang definisi, pandangan ulama terhadap tafsir Al-Isyari, dan syarat-syarat diterimanya tafsir Al-Isyari.
Tafsir Al-Isyari adalah ta’wil Al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafadz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia dan hanya diketahui oleh sebagian Ulul Ilmi dan ‘Arifin (orang yang ma’rifat kepada Allah) dari orang-orang yang telah diterangi oleh Allah matahatinya.
Manna Khalil Al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Dalam tafsir Al-Isyari, seorang mufasir akan melihat makna lain selain makna lahir yang terkandung oleh ayat Al-Karimah. Namun makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Sebagian pendapat ulama memeperbolehkan dengan alasan menganggap penggunaan metode tafsir Al-Isyari ini sebagai kesempurnaan iman dan inti daripada ‘irfan. Dan sebagian ulama yang lain tidak memperbolehkan, karena mereka menilai metode ini sebagai kesesatan dan penyimpangan dari agama Islam.
Sebagian ulama yang memperbolehkan tafsir Al-Isyari mempunyai dalil yang termaktub dalam hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab sahihnya pada bab tafsir ketika menafsirkan Q.S. An Nashr yang berbunyi
“Dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata ‘Pada suatu ketika Umar bin Khattab, dia mengikutsertakan aku bersama para syaikh Badar.’ Agaknya ada sebagian mereka yang berbangga diri, lalu berkata ‘Mengapa engkau ikutkan bocah ini bersama kami? Kami punya anak-anak serupa dia.’ Umar menjawab: ‘Sebenarnya dia telah kalian kenal.’ Kemudian pada suatu hari Umar memanggilku dan membawaku masuk bersama mereka. Aku hanya mengira bahwa dia memanggilku untuk dia perkenalkan kepada mereka.” Lalu Umar berkata “Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah:
اذا جاء نصرالله والفتخ
Artinya: “Ketika datang pertolongan Allah dan hari pembukaan” (Q.S. An Nashr: 1)
Di dalam kitab Jam’ul Fawaid Wa A’dzabul Mawarid, Juz II, hal. 285 diakatakan bahwasannya setengah dari mereka menjawab: “Kita diperintah agar memuji kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya, manakala Dia telah menolong kita dan membukakan kepada kita.” Mereka yang lain diam saja. Tidak ada yang berkata sesuatu.
Kemudia Umar berkata kepadaku “Apakah demikian pendapatmu wahai Ibnu Abbas?” Kujawab: “Tidak”. “Apa pendapatmu?”, tanya Umar lagi. Lalu aku berkata: “Itulah ajal Rasul yang Allah beritahukan kepadanya. Maka Allah berfirman: “Ketika datang pertolongan Allah dari hari pembukaan, “maka demikian itu alamat ajalmu, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia maha menerima taubat.” (Q.S. An Nashr: 1-3). Lalu Umar berkata “Aku pun tidak mengetahuinya selain apa yang engkau katakan.”
Perselisihan dan perbedaan pendapat antara ulama ini, menghasilkan keputusan dengan member jalan tengah antara ulama yang mendukung dan melarang, dengan mengajukan syarat-siyarat sufi tafsir isyari yang bisa diterima. Tujuan dan syarat syarat ini agar para mufasir ataupun para pembaca tafsir berhati hati dalam memahami kandungan Al-Qur’an.
Tafsir sufi isyari tidak bisa diterima menurut para ahli ilmu Al-Quran, jika syarat-syaratnya tidak dipenuhi, Syaikh Ash Shobuni mengemukakan syarat-syarat tafsir Al-Isyari yang bisa diterima jika tidak meniadakan makna lahirnya ayat Al-Karimah, tidak menyatakan bahwa makna isyarah itu merupakan murad satu-satunya, tanpa makna lahir, hendaknya suatu takwil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafal, sebagaimana penafsiran kelompok Al Bathiniyyah tentang firman Allah dalam Q.S. An-Naml ayat 16, yang artinya “Sulaiman itu mempusakai (menggantikan bapaknya Daud)...” bahwa Imam ‘Ali itu mewarisi Nabi Muhammad SAW dalam ilmunya, hendaknya ia tidak bertentangan dengan syara’ maupun akal, hendaknya dalam takwil atau isyarat itu tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir isyari merupakan cara penafsiran atas isyarat yang terkandung dalam Al-Quran dimana maknanya hanya dapat diketahui oleh orang orang tertentu dari kalangan ulama dan ahli sufi. Penafsiran tersebut dapat diterima apabila memenuhi persyaratan tertentu yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, syariat, dan akal. Namun, tafsir isyari bukanlah tafsir bathiniyah yang hanya mengakui makna batin ayat tertentu akan menghilangkan kandungan hukum yang tersirat dalam ayat Al-Quran sehingga dapat menyesatkan umat.
Oleh : Muhammad Tsaqif Khabibur Rohman (Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang).