Ilustrasi: Konflik antara Palestina dan Israel |
“Konflik antara Istrael dan Palestina tidak hanya sebatas agama namun lebih kompleks dari itu” (Bpk. Luthfi Rahman, M.S.I., M.A.)
Konfik antara Palestina dan Israel sudah
tidak asing lagi dibicarakan oleh warga dunia. Pasalnya, konflik tersebut sudah
terjadi sekian lama dan tidak terjadi begitu saja. Banyak
faktor dan runtutan sejarah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Isawati
menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timur Tengah jilid dua yang
terbit pada tahun 2013, bahwa pada masa lalu kawasan Palestina dikenal dengan
nama Kanaan, Yudea, dan Tanah Suci.
Sebelum berada di bawah kekuasaan Islam
pada tahun 636 Masehi, dulunya Palestina adalah negara Yahudi yang dijajah oleh
bangsa Babilonia, Persia, Macedonia, dan beberapa kerajaan Yunani. Setelah di
bawah kekuasaan Islam, terjadilah perang dunia yang dimenangkan oleh Inggris.
Saat itulah Inggris dalam Deklarasi Balfour memberikan wilayah kepada bangsa
Yahudi, sehingga bangsa Yahudi beranggapan bahwa Kawasan Palestina adalah tanah
air mereka sebagai pemberian Inggris. Dari situlah konflik antara Palestina dan
Israel dimulai.
Dalam buku berjudul Pergolakan karya
Dipoyudo, masyarakat Islam Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan
pendirian negara Yahudi di kawasan Palestina. Selain itu, masyarakat Palestina
juga menganggap bahwa negara-negara Barat berusaha untuk menyelesaikan masalah
pengungsian Yahudi di Eropa dengan merebut wilayah Arab.
Tidak hanya berhenti di situ, pada tanggal
23-29 november 1947 tepat dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, PBB mengadakan
sidang atas masalah pertikaian itu. Hasil dari sidang menunjukkan tentang resolusi yang
berisi pembagian wilayah antara Yahudi dan Muslim. Namun, resolusi tersebut
ditolak oleh pihak Muslim karena mereka menuntut seluruh wilayah Palestina.
Pada tahun 1948, terjadilah perang antara
Muslim dan Yahudi di Palestina dan dimenangkan oleh bangsa Yahudi. Muslim
Palestina mengalami kerugian atas kekalahan perang yang mengakibatkan
mayoritas wilayah Palestina dikusai oleh Yahudi. Selain itu, dari kekalahan tersebut
Muslim Palestina terpecah menjadi dua golongan yakni sebagian yang menerima
kekalahan atas tanah Palestina dan sebagian lain yang tetap ingin berjuang
dalam perang.
Hingga pada tahun 1964 berdirilah organisasi
PLO (Palestine Liberation Organization) yang berjuang untuk kemerdekaan
Palestina. Lalu pada tahun 1988, tepatnya pada tanggal 15 November, Palestina
memproklamasikan kemerdekaannya yang diakui oleh Indonesia dan 19 negara
lainnya. Namun, beberapa negara Barat menolak kemerdekaan Palestina
dan hal itu berdampak pada konflik antara Israel dan Palestina yang tak
kunjung selesai hingga kini.
Menurut pengamatan Timur Tengah, Yusli effendi sebagai dosen di Universitas Brawijaya (UB), mengatakan bahwa peristiwa memilukan itu terjadi
karena pengaruh faktor sistemik dan politik domestik. Faktor sistemik disebabkan karena dukungan Trump. Aneksasi Israel di tanah Palestina melalui pemukiman
Yahudi termasuk di Syekh Jarrah lahir karena persetujuan Amerika
Serikat melalui Donald Trump. Selain itu, Trump sendiri merupakan Presiden
Amerika Serikat yang pada saat kepemimpinannya paling loyal mendukung Israel.
Keloyalan Trump terhadap Israel dapat dilihat dari banyaknya
rumah yang dibangun,
yakni sekitar 9.200 rumah di pemukiman Yahudi. Tidak hanya itu, sejak
awal masa jabatannya, Trump telah banyak menciptakan kebijakan pro-Israel.
Termasuk darinya memindahkan kedutaan Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerussalem dan
menyalahi kesepakatan International untuk menjadikan Yerussalem daerah status
quo.
Berbeda dengan faktor sistemik, politik domestik dapat dilihat
dari upaya Netanyahu dan Hamas untuk memanfaatkan momentum guna mendapatkan
keuntungan politik di kancah politik domestik Israel dan Palestina. Posisi
Netanyahu sebagai PM Israel di ujung tanduk setelah kegagalannya dalam
membentuk pemerintahan efektif yang dibangun berbasis koalisi kekuatan-kekuatan
politik Israel.
Politik domestik Israel juga terfragmentasi dalam beragam kekuatan politik meski didominasi partai politik berhaluan
zionis. Isu keamanan dan kedaulatan Israel menjadi jualan populis untuk
menangguk dukungan konstituen dan serangan terhadap Palestina berpeluang
mengerek elektabilitas dan legitimasi Netanyahu.
Konflik antara Israel dan Palestina belum saja usai hingga
kini. Ada beberapa dari kalangan masyarakat yang membela Palestina berdasarkan asas kemanusiaan. Ada pula sebagian lain yang beranggapan bahwa pembelaan terhadap Palestina didasari oleh faktor agama. Dengan demikian, bagi mereka tidak menguntungkan kalangan masyarakat yang memiliki latar
belakang agama yang berbeda.
Sejatinya pembelaan terhadap Palestina bukan hanya perihal agama, akan tetapi lebih kepada
pembebasan atas kemanusiaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penduduk non Islam
di Gaza, yang berjumlah sekitar 1500 jiwa. Selain itu, Patur Manuel Musallam seorang
pemimpin kaum Kristen di sana pernah berkata bahwa “Apabila masjid-masjid
kalian dibombardir maka azanlah di gerejaku”, ungkapnya.