Respon Terhadap Konflik Israel #Munadhoroh03

Ilustrasi: Konflik antara Palestina dan Israel

Konflik antara Istrael dan Palestina tidak hanya sebatas agama namun lebih kompleks dari itu” (Bpk. Luthfi Rahman, M.S.I., M.A.)

Konfik antara Palestina dan Israel sudah tidak asing lagi dibicarakan oleh warga dunia. Pasalnya, konflik tersebut sudah terjadi sekian lama dan tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor dan runtutan sejarah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Isawati menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timur Tengah jilid dua yang terbit pada tahun 2013, bahwa pada masa lalu kawasan Palestina dikenal dengan nama Kanaan, Yudea, dan Tanah Suci.

Sebelum berada di bawah kekuasaan Islam pada tahun 636 Masehi, dulunya Palestina adalah negara Yahudi yang dijajah oleh bangsa Babilonia, Persia, Macedonia, dan beberapa kerajaan Yunani. Setelah di bawah kekuasaan Islam, terjadilah perang dunia yang dimenangkan oleh Inggris. Saat itulah Inggris dalam Deklarasi Balfour memberikan wilayah kepada bangsa Yahudi, sehingga bangsa Yahudi beranggapan bahwa Kawasan Palestina adalah tanah air mereka sebagai pemberian Inggris. Dari situlah konflik antara Palestina dan Israel dimulai.

Dalam buku berjudul Pergolakan karya Dipoyudo, masyarakat Islam Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan pendirian negara Yahudi di kawasan Palestina. Selain itu, masyarakat Palestina juga menganggap bahwa negara-negara Barat berusaha untuk menyelesaikan masalah pengungsian Yahudi di Eropa dengan merebut wilayah Arab.

Tidak hanya berhenti di situ, pada tanggal 23-29 november 1947 tepat dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, PBB mengadakan sidang atas masalah pertikaian itu. Hasil dari sidang menunjukkan tentang resolusi yang berisi pembagian wilayah antara Yahudi dan Muslim. Namun, resolusi tersebut ditolak oleh pihak Muslim karena mereka menuntut seluruh wilayah Palestina.

Pada tahun 1948, terjadilah perang antara Muslim dan Yahudi di Palestina dan dimenangkan oleh bangsa Yahudi. Muslim Palestina mengalami kerugian atas kekalahan perang yang mengakibatkan mayoritas wilayah Palestina dikusai oleh Yahudi. Selain itu, dari kekalahan tersebut Muslim Palestina terpecah menjadi dua golongan yakni sebagian yang menerima kekalahan atas tanah Palestina dan sebagian lain yang tetap ingin berjuang dalam perang.

Hingga pada tahun 1964 berdirilah organisasi PLO (Palestine Liberation Organization) yang berjuang untuk kemerdekaan Palestina. Lalu pada tahun 1988, tepatnya pada tanggal 15 November, Palestina memproklamasikan kemerdekaannya yang diakui oleh Indonesia dan 19 negara lainnya. Namun, beberapa negara Barat menolak kemerdekaan Palestina dan hal itu berdampak pada konflik antara Israel dan Palestina yang tak kunjung selesai hingga kini.

Menurut pengamatan Timur Tengah, Yusli effendi sebagai dosen di Universitas Brawijaya (UB), mengatakan bahwa peristiwa memilukan itu terjadi karena pengaruh faktor sistemik dan politik domestik. Faktor sistemik disebabkan karena dukungan Trump. Aneksasi Israel di tanah Palestina melalui pemukiman Yahudi termasuk di Syekh Jarrah lahir karena persetujuan Amerika Serikat melalui Donald Trump. Selain itu, Trump sendiri merupakan Presiden Amerika Serikat yang pada saat kepemimpinannya paling loyal mendukung Israel.

Keloyalan Trump terhadap Israel dapat dilihat dari banyaknya rumah yang dibangun, yakni sekitar 9.200 rumah di pemukiman Yahudi. Tidak hanya itu, sejak awal masa jabatannya, Trump telah banyak menciptakan kebijakan pro-Israel. Termasuk darinya memindahkan kedutaan Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerussalem dan menyalahi kesepakatan International untuk menjadikan Yerussalem daerah status quo.

Berbeda dengan faktor sistemik, politik domestik dapat dilihat dari upaya Netanyahu dan Hamas untuk memanfaatkan momentum guna mendapatkan keuntungan politik di kancah politik domestik Israel dan Palestina. Posisi Netanyahu sebagai PM Israel di ujung tanduk setelah kegagalannya dalam membentuk pemerintahan efektif yang dibangun berbasis koalisi kekuatan-kekuatan politik Israel.

Politik domestik Israel juga terfragmentasi dalam beragam kekuatan politik meski didominasi partai politik berhaluan zionis. Isu keamanan dan kedaulatan Israel menjadi jualan populis untuk menangguk dukungan konstituen dan serangan terhadap Palestina berpeluang mengerek elektabilitas dan legitimasi Netanyahu.

Konflik antara Israel dan Palestina belum saja usai hingga kini. Ada beberapa dari kalangan masyarakat yang membela Palestina berdasarkan asas kemanusiaan. Ada pula sebagian lain yang beranggapan bahwa pembelaan terhadap Palestina didasari oleh faktor agama. Dengan demikian, bagi mereka tidak menguntungkan kalangan masyarakat yang memiliki latar belakang agama yang berbeda.

Sejatinya pembelaan terhadap Palestina bukan hanya perihal agama, akan tetapi lebih kepada pembebasan atas kemanusiaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penduduk non Islam di Gaza, yang berjumlah sekitar 1500 jiwa. Selain itu, Patur Manuel Musallam seorang pemimpin kaum Kristen di sana pernah berkata bahwa “Apabila masjid-masjid kalian dibombardir maka azanlah di gerejaku”, ungkapnya.

 

Oleh: Leni Nur Azizah (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama