Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthub Ibrahim Husain asy-Syadziliy, namun biasa dipanggil Sayyid Quthub. Ia lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 M, di Musya, daerah kota Asyut (Mesir). Sayyid Quthub lahir di antara lima bersaudara yang hidup bersama di desa Syekh Abdul Fattah. Nama desa tersebut diambil dari salah satu tokoh penting di sana. Sayyid Quthub lahir di lingkungan Islami dan sejak kecil dirinya dididik agar menjadi generasi Qur'ani. Buktinya, pada umur 10 tahun Sayyid Quthub sudah mendapat gelar hafidz 30 juz.
Ayahnya bernama Sayyid Quthub Haji Ibrahim dan ibunya bernama Fatimah. Ayah Sayyid Quthub adalah seorang anggota partai Nasional (Al-Hizb Al-Wathany), sekaligus pengelola majalah Al-Liwâ`. Sementara ibunya adalah wanita sederhana yang taat beragama. Dengan begitu, ia mendidik anak-anaknya sesuai norma agama Islam. Sayyid pun menjadi seorang yang saleh dan kaya akan ilmu keagamaan. Dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya, Sayyid pun aktif dalam kegiatan kepenulisan dan gerakan Islam yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna.
Pendidikan awalnya ditempuh melalui sekolah dasar dan sekolah Kuttab (TPA) yang mengajarkannya ilmu keagamaan dan Al-Qur’an. Pada tahun 1921 M ia melanjutkan sekolah jenjang tsanawiyyah di Kairo. Setelah berjalan beberapa lama, ia memutuskan untuk pindah ke Helwan untuk tinggal bersama pamannya yang merupakan seorang jurnalis. Di situlah ia mempelajari dan mengembangkan bakatnya dalam dunia kepenulisan. Pada tahun 1925 M ia masuk ke institusi diklat keguruan selama tiga tahun. Selanjutnya, ia masuk Universitas Dâr al-‘Ulûm. Dengan demikian, ia memporelah gelar sarjana (Lc) di bidang sastra sekaligus diploma pendidikan.
Baca Juga: Respon Terhadap Konflik Israel #Munadhoroh03
Tak cukup sampai di situ, Sayyid Quthub kembali melanjutkan pendidikannya di Tajhisziyah Dar al Ulum (Universitas Kairo). Sayyid Quthub juga pernah mendalami keilmuannya di Amerika. Pada saat itu, ia harus membagi waktunya antara Wilson’s Teacher’s College di Washington (The University of the District of Columbia) dan Greeley College di Colorado. Pada tahun 1933M, ia memulai perjalanan karirnya sebagai pengajar di beberapa sekolah milik Departemen Pendidikan selama enam tahun. Setelah itu ia pindah ke bagian perkantoran departemen. Tak lama kemudian, ia pindah bagian menjadi Lembaga Pengawasan Pendidikan Umum selama kurang lebih delapan tahun.
Melihat keadaan dunia pada saat itu yang sedang tidak baik-baik saja membuat Sayyid Quthub sadar bahwa ia tidak bisa tinggal diam. Ia melihat lingkungan sekitarnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama merupakan orang yang lillahi ta'ala. Golongan ini begitu ikhlas dalam taat kepada Allah. Sedangkan golongan satunya merupakan golongan jahiliyah, yang bertentangan dengan norma Islam. Kehidupan yang mulai jauh dari nilai Qur'ani membuatnya melakukan usaha syiar agar Qur'an bisa menjadi landasan prioritas dalam kehidupan.
Banyak karya yang dihasilkan Sayyid Quthub selama hidupnya. Beberapa di antara karyanya yaitu Kutub wa Shakhsiyyat (1946), Al-Taswir al-Fanni fi'l-Qu'ran (1945), Dirasat Islamiyya (1953), Al-Adala al-Ijtima'iyya fi'l-Islam (1949), Al-Mustaqbal li-hadha'l-Din (1954), Mahammat al-Sha'ir fi'l-Hayah wa Shi'r al-Jil al-Hadir (1933), Naqd Kitab: Mustaqbal al-Thaqafa fi Misr (1939), dan masih banyak lagi.
Sayyid Quthub pernah mendapat julukan “Guru para teroris”, karena beberapa karyanya yang dianggap dapat membangkitkan jiwa terorisme dan fundamentalisme dalam agama. Selain itu, Sayyid juga dekat dengan pergerakan Islam maupun politik. Bahkan Sayyid berfikiran akan menyebarkan ideologi Khilafah Islamiyyah. Maksud dari ideolgi tersebut adalah agar Islam menjadi panutan dan pimpinan dalam dunia pemerintahan. Dengan begitu, seluruh rakyat maupun pemimpinnya akan menganut ideologi Islamiyah.
Pada suatu saat, Sayyid menemukan sebuah wadah pergerakan yang bisa membentenginya dari kehidupan bebas tanpa aturan. Wadah pergerakan tersebut adalah organisasi Ikhwanul Muslimin. Setelah bergabung dengan organisasi tersebut, namanya meroket atas prestasi dan karya yang didapatkannya. Suatu ketika ia berani mengkritik perjanjian antara pemerintahan Mesir dan Inggris. Hal ini membuat Kolonel Gamal Abdel Naseer merasa tidak terima dengannya.
Baca Juga: Keistimewaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah dalam Tafsir
Semenjak kejadian tersebut banyak sekali rintangan yang harus dilalui oleh Sayyid, karena dianggap akan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Lalu ia mendapat hukuman kerja paksa di kampung-kampung selama 15 tahun dan beberapa kali pindah penjara. Namun pada akhirnya Presiden Irak meminta pembebasan Sayyid tanpa tuntutan. Setelah pembebasan tersebut ia kembali aktif dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin.
Tidak lama kemudian Sayyid Quthub menerima hukuman penjara mati. Hal ini disebabkan atas tuduhan yang mengatakan bahwa ia adalah provokator anggota Ikhwanul muslimin untuk menjatuhkan Presiden Nasher melalui pemikiran revolusioner. Pemikiran tersebut tercantum dalam karyanya yang berjudul Ma’alim fi ath-Thariq (Musallam, 1993: 64). Pada tanggal 21 Agustus 1966, ia bersama dua orang temannya, yaitu Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah. Lalu pada tanggal 29 Agustus1966, Sayyid Quthub beserta dua temannya dihukum gantung.
Walaupun perjalanan hidup yang dilaluinya begitu rumit, Sayyid tetap terkenang sebagai mufasir yang intelektual dan aktif dalam berbagai bidang sosial. Banyak karyanya yang menjadi pendongkrak majunya khazanah Islam. Nama Sayyid Quthub mendapatkan tempat tersendiri bagi para penikmat karyanya. Ia mampu menafsirkan al-Qur’an, dalam karyanya Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an. Hal ini menjadi salah satu dasarnya dalam menjalani kehidupan yang berlandaskan al-Qur’an dan ss-Sunnah.
Oleh: Uswatun Khasanah (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)