Refleksi atas Peran Agama di Masa Krisis #Munadhoroh04

Melonjaknya kasus pandemi covid-19 yang telah berlangsung selama kurang lebih dua tahun ini, menyebabkan beberapa sektor mengalami pembatasan secara masif. Keadaan ini menyebabkan krisis berkelanjutan dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa dirugikan oleh situasi seperti ini dan tentu juga membutuhkan banyak peran untuk menghadapinya.

Lalu apa sebenarnya definisi krisis dalam konteks al-Qur’an? Lalu sebagai umat beragama, bagaimana respon yang tepat dalam menyikapi keadaan krisis seperti ini? What is a crisis? Jadi, krisis adalah sebuah situasi yang tidak terduga atau ancaman yang berdampak pada individu, sosial, atau natural world. Makna krisis dalam al-Qur’an telah dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah :155 yang berbunyi :

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ 

 “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Merujuk pada ayat di atas, kita dapat merefleksi bahwa suatu bala’ dan masa krisis pasti akan terjadi dari masa ke masa sebagai wujud dari takdir Allah SWT. Selain itu, permasalahan ini juga mengajarkan kita untuk tidak menjadi orang yang kaget-an (mudah kaget: dalam istilah jawa). Bahkan bagi mereka yang sebelumnya menerima cobaan adalah sesuatu yang tidak biasa, kini menjadi permasalahan yang inheren bagi kita, terutama dalam rangka menjalani syariat dan menjadi hamba yang seutuhnya.

Baca Juga : Respon Terhadap Konflik Israel #Munadhoroh03

Dari ayat tersebut juga dapat dipahami bahwa krisis bisa mengenai berbagai aspek, di antaranya adalah psikologis, ketersediaan pangan, pertarungan agrarian (reformasi agrarian), dan krisis terkait tata kelola pemerintahan. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita, terlebih umat muslim sendiri dalam menghadapi situasi krisis ini? Jika kita memahami kembali makna dari surah Al-Baqarah:155, sudah dijelaskan bahwa sikap sabar menjadi salah satu cara terbaik untuk merespons masa kriris seperti yang kita alami sekarang ini.

Pada bagian akhir munadhoroh HMJ IAT yang keempat ini, telah disebutkan bahwa Allah akan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar. Dalam konteks hadis pun, Nabi Muhammad SAW telah bersabda :

وقال صلى الله عليه وسلم: {الإيمانُ نِصْفَانِ، فَنِصْفٌ في الصَّبْرِ، وَنِصفٌ في الشُّكْرِ}

 “Iman itu ada dua, setengahnya di dalam kesabaran dan setengahnya lagi di dalam kesyukuran.” (HR. imam Al-Baihaqi dari shahabat Anas bin Malik)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari iman setengahnya berada di dalam kesabaran adalah sabar dari hal-hal yang diharamkan untuk dapat ditinggalkan dan tidak dilakukan. Sementara itu, maksud dari iman setengahnya berada di dalam rasa syukur adalah bersyukur dapat melakukan ketaatan-ketaatan.

Selaku pemantik, Bapak Nur Ahmad, M.A.  juga memaparkan kajian historis Walisongo dan para ulama terdahulu, sebagai acuan dan refleksi kita dalam menghadapi situasi dari masa ke masa. Peran Walisongo sangat penting dalam peletakan fondasi keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan pemerintahan. Mengapa demikian? Karena Walisongo tak hanya berperan menjadi religious teacher, tapi juga terjun langsung dalam sosial kemasyarakatan di Indonesia.

Kasus krisis ini seperti kisah Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari Al-Bantani dengan krisis yang dihadapinya. Krisis ini terjadi saat ia menghadapi perlawanan terhadap kolonial, setelah Sultan Ageng Tirtayasa menentukan siapa pengganti kesultanannya. Krisis ini menimbulkan polemik dan situasi yang rumit bagi kelanjutan ukhuwah Islamiyah serta kemasyarakatan daerah khususnya Banten dan Nusantara pada umumnya. Dengan adanya krisis ini, Syekh Yusuf Tajul Khalwati memberikan pelajaran ketauhidan tentang takdir Allah. Tak hanya itu,ia juga memberikan pengetahuan penting kepada banyak masa terkait dengan perjuangan, survive, dan turut serta dalam menghadapi situasi krisis dan rumit sekalipun.

Baca Juga: Keistimewaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah dalam Tafsir

Melihat keadaan sekarang, penulis juga mencantumkan kaca pandangnya mengenai situasi krisis ini. Di antaranya adalah cara pandang kita terkait dengan agama seharusnya tidak hanya diam saja, tetapi lebih menawarkan strategi dan solusi di masa krisis. Salah satunya dengan mencegah penularan wabah Covid-19 ini dengan menjaga 5M, yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Tak cukup sampai di situ, kita juga perlu mengaplikasikan ilmu yang kita miliki untuk kemashlahatan masyarakat, dan menjadikan fiqih bukan hanya untuk kajian masa lalu, tapi untuk kajian masa kini dan  masa yang akan datang pula.

Tak lupa mengaca pada sejarah dan berfikir secara historis, kita perlu melihat krisis dari masa ke masa agar dapat merefleksi dan melakukan hal yang sama dengan strategi yang berbeda. Walaupun dengan begitu tidak akan mehilangkan kedudukan selama dalam konteks itu sendiri. Tak luput dari hal tersebut, kita masih bisa terus memberi manfaat, menjadikan diri dalam circle wacana keulamaan, yang akhirnya pun tetap menggapai ridho illahirabbi. 


Oleh: Faza Nailil Muna Syahida (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama