Siapa yang tak mengenal Bint Syathi’, sosok mufasir perempuan yang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Sedari kecil, ayahnya, Syekh Muhammad Ali Abdurrahman melarang untuk menempuh pendidikan formal karena berpikir bahwa perempuan harus diam di rumah dan melakukan pembelajaran di sana. Bint Syathi’ baru diizinkan bersekolah di luar rumah ketika ibunya, Faridah Abdussalam, memohon kepada kakeknya, Syekh Ibrahim, untuk mendukung Bint Syathi’. Dukungan untuk sekolah formal juga datang dari guru ayahnya yang bernama Syekh Mansur Ubay Haikal.
Jika dilihat dari kisah hidupnya, Bint Syathi' kecil sering mengalami tekanan-tekanan secara mental baik dalam keluarga maupun lingkungan di sekitarnya. Kendati demikian, ia tidak pesimis dan menyalahkan keadaan. Alih-alih merasa menjadi korban, ia malah merasa hal itu ialah sebuah dorongan untuk keluar dari zona yang mengekangnya. Misalnya ketika dia hanya diminta diam di rumah, ia tidak hanya diam saja, tetapi juga tetap mengembangkan ilmunya guna mencapai impiannya.
Memperjuangkan kedudukan perempuan di ranah publik dilakukan Bint Syathi’ dengan berkarya dan berprestasi. Ia banyak menulis artikel, buku, maupun karya tulis lain sebagai sumbangsih terhadap pembaharuan Islam berupa karya tulis dengan tema dirasah Islamiyah, fiqh, adab terutama tafsir al-Qur'an. Karya tulisnya sering diterbitkan di majalah-majalah seperti majalah al-Nahdah an-Nisaiyyah, al-Ahram, dan masih banyak lagi. Selain itu, Bint Syathi’ juga menulis banyak buku seperti Maqal fi al-Insan, al-Qur’an wa al-Tafsir al-Asro, al-Qur’an wa Qadaya al-Insan, al-I’jaz al-Bayani wa Masa’il ibn al-Azraq, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, dan lain-lain.
Bint Syathi' memiliki karya yang populer dalam bidang tafsir, yaitu kitab Al-Tafsir al-I'jaz al-Bayani li al-Qur'an al-Karim. Dalam penulisannya, ia mengikuti standardisasi metode kajian tematik dari Amin al-Khulli, suami sekaligus dosennya. Sedangkan corak penafsiranya menggunakan corak sastra, yang mana mengedepankan ketelitian dalam penggunaan bahasa.
Di dalam tafsirnya, Bint Syathi' mengupas tema gender yang membahas perbedaan mengenai seks dan gender. Di sini ditemukan kata al-Dzakar dan al-Untsa yang merupakan unsur biologis yang biasa disebut dengan seks. Sedangkan gender merupakan pembedaan peran, sikap, sifat, dan perilaku dalam masyarakat berupa peran produktif maupun kemasyarakatan. Ia menjelaskan bahwa dalam bekerja, berpendidikan, dan berkarir tidak membedakan unsur biologis, apakah dia laki-laki atau perempuan. Pendapatnya diperkuat dengan gagasan Fakhruddin al-Razi dan Ibnu Qayyim yang menyatakan hal serupa.
Bint Syathi' dalam perjalanan hidupnya selalu menjunjung kesetaraan gender. Ia mengupayakan hak-hak perempuan di zamannya untuk mendapat pendidikan formal dan berkarya. Lingkungannya saat itu masih membatasi ruang gerak perempuan, terutama dalam beberapa aspek kehidupan seperti bekerja, berpendidikan tinggi, berkarya, ataupun hal-hal lainnya yang pada umumnya dikerjakan di ranah publik. Bagi mereka, perempuan harus diam di rumah agar tidak menebar fitnah. Namun hal ini ditentang olehnya, ia menganggap kedudukan perempuan sepadan dengan laki-laki dalam hal pendidikan, bekerja, maupun dikenal oleh khalayak publik.
Keteladanan yang telah diberikan oleh Bint Syathi' diharapkan mampu menginspirasi generasi-generasi berikutnya, khususnya perempuan. Kasus-kasus diskriminasi perempuan dan konstruksi sosial terhadap perempuan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Dengan ini, derajat perempuan bisa diperjuangkan dalam kehidupan modern sekarang apabila kita mengambil sisi baik dari tokoh untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh: Gita Nurul Faradina (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Inspiratif banget
BalasHapus