Hukum Membaca Basmalah Secara Sirr




Senja adalah semacam perpisahan yang sangat mengesankan. Cahaya kuning keemasan beranjak mulai menyingsing dari langit dunia, terlihat matahari sudah mulai lelah, sinarnya meredup bak lampu teplok yang kehabisan minyak.

Sembari menikmati prosesi tenggelamnya sang surya di hari itu, Gus Risky bersantai sambil muthola’ah kitab favoritnya, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, tak lupa secangkir kopi kapal api tanpa gula yang siap diseruput saat Gus Risky butuh inspirasi. 

Sesaat ketika Gus Risky menyeruput secangkir kopi yang masih hangat itu, tiba-tiba ponselnya yang bermerek Samsung A 72 berdering. Usut punya usut ternyata pujaan hatinya, Neng Salwa menelepon. Tanpa basa-basi Gus Risky dengan senang hati langsung mengangkat.  

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam, pripun Sal? Ada yang bisa saya bantu? Sudah lama banget kamu nggak nelepon.”

Kalau dihitung-hitung, padahal kurang lebih baru satu minggu yang lalu mereka teleponan, tapi Gus Risky mengatakan sudah lama nggak nelepon. Ya mungkin begitu jika asmara sudah menggelora, tidak teleponan satu minggu sudah seperti satu tahun. Ya mbok maklum, namanya juga anak muda. 

“Begini Gus, kemarin kan aku jama’ah di masjid daerah Fukuoka sini, kok imamnya membaca basmalah tanpa suara yang biasa kita sebut dengan sirr itu lo Gus? Itu bagaimana sih? Soalnya kalau di Indonesia kan mayoritas diucapkan dengan jelas, atau sering disebut apa ya Gus?”

"Jahr maksut kamu?" sambung Gus Risky.

Dengan malu-malu Salwa pun menjawab, "Naaah, iya itu yang aku maksud, hehehe."

FYI (For your Information), Neng Salwa saat ini melanjutkan program Master Degree Fukuoka University di Negeri Sakura, Jepang. Ia mengambil jurusan Studi Budaya Jepang di Asia. Sebelum berangkat ke Jepang pun Neng Salwa sudah dilamar oleh Gus Risky, makanya bisa dikatakan hubungan mereka sekarang adalah Long Distance Relationship (LDR) beda negara, yakni antara Indonesia dan Jepang.

“Oalah, kalau itu karena kamu dulu di Indonesia yang mayoritas mazhabnya Syafi’i maka membacanya dengan jahr, boleh jadi imam sholatmu yang di Fukuoka sana mazhabnya Hanafi, makanya dibaca sirr.” 

Sambil mengerutkan dahi dan memindahkan ponsel genggamnya ke telinga kiri, Neng Salwa lantas mengajukan pertanyaan, 

“Berarti ada khilafiah di antara ulama' mazhab yang empat itu ya Gus?”

“Iya benar, sebentar kebetulan aku megang kitabnya, ini tak carikan dulu ya Sal.”

“Kitab apa Gus?” Tanya Neng Salwa semakin penasaran,

“Oh, ini kitab Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an karya seorang ulama' dari kalangan sunni yang menguasi beberapa disiplin ilmu pengetahuan, khususnya di bidang tafsir, hadits dan fiqh. Beliau bernama Syekh Muhammad Ali as-Shobuni, corak tafsir yang beliau gunakan termasuk corak fiqhi, makanya dikitab ini ada penjelasan beliau mengenai hukum membaca basmalah dalam sholat menurut beberapa mazhab.” 

Seakan tak sabar ingin mendengar jawaban Gus Risky, Neng Salwa menimpali,

“Gimana Gus? Sudah ketemu belum?”

“Iya, ini sudah ketemu, tepatnya di halaman 53-54.”

“Alhamdulillah, bagaimana penjelasannya Gus?”

“Disini disebutkan bahwa antar ulama' madzhab yang empat itu berbeda pendapat.”

“Oalah empat ulama’ madzhab itu berarti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal ya Gus?” tanya Neng Salwa menangapi jawaban Gus Risky.

“Iya betul banget, kalau pendapat Imam Malik, beliau malah mencegah membaca basmalah dalam sholat yang maktubah, baik secara jahr atau pun sirr, namun tidak ketika membaca basmalah sebagai ummul Qur’an dan sebagai awal dari surah-surah yang lain, beliau memperbolehkan membacanya dalam perkara sunah.”

“Kalau yang Imam Abu Hanifah gimana Gus?”

“Nah, kalau Imam Abu Hanifah, beliau membaca basmalah dengan sirr dalam Al-Fatihah di setiap rakaat dari beberapa rakaat dalam sholat, dan jika membacanya dalam setiap surah maka itu bagus.”

“Trus kalau yang Imam Syafi’i Gus?”

“Nah, ini yang biasa di pakai pendapatnya di Indonesia. Beliau Imam Syafi’i menghukumi membaca basmalah sebagai hal yang wajib. Dalam sholat yang jahr berarti dibaca jahr, dan dalam sholat yang sirr maka dibaca sirr.

“Oh iya makanya di Indonesia dibaca jahr karena memang mayoritas muslim di Indonesia mengikuti madzhab Syafi’i ya?”

“Iya betul banget Sal.”

“Trus yang terakhir Imam Abu Hanifah gimana Gus?”

“Lho tadi Imam Abu Hanifah kan udah, yang belum berarti Imam Ahmad bin Hanbal.”

Sambil tersenyum dan sedikit agak malu, Neng Salwa melanjutkan,

“Eh iya ding, maaf gus hehe. Gimana itu Gus yang Imam Ahmad bin Hanbal?”

“Nah kalau Imam Ahmad bin Hanbal, beliau membacanya dengan sirr dan tidak disunahkan dengan jahr.”

Setelah mendengarkan penjelasan Gus Risky, Neng Salwa yang memang agak kritis itu kembali mengajukan pertanyaan,

“Bentar Gus, lantas kenapa para ulama' saling berbeda pendapat atas hal ini? Apa yang melatar belakanginya?”

Dengan semangatnya Gus Risky pun menjawab,

“Wah ini pertanyaan cerdas. Jadi gini Sal, penyebab para ulama' berbeda pendapat dalam hal ini adalah berbedanya pemahaman mengenai apakah basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah dan awal dari setiap surah atau tidak?”

Gus Risky menambahkan,

“Ibnul Jauzi dalam kitabnya Zad al-Masir menjelaskan, mengenai apakah basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah dan awal dari setiap surah atau tidak? Dalam hal ini dari Imam Ahmad memiliki dua riwayat. Pertama, ada yang menyebutnya sebagai bagian dari surah Al-Fatihah, maka ia wajib membacanya ketika shalat. Kedua, ada yang berpendapat kalau basmalah bukanlah bagian dari surah Al-Fatihah, maka membaca dalam sholat itu disunahkan. Nah kan kasusnya seperti Imam Malik yang tidak menghendaki membaca basmalah dalam shalat.”

“Oalah iya iya. Sangat mencerahkan sekali Gus”

“Waduh, terimakasih Sal hehe”

Karena tidak ada bahasan lagi, Gus Risky menanyakan pertanyaan basa basi,

“Gimana, kamu krasan tinggal di Jepang?”

“Alhamdulillah krasan Gus, di sini orang-orangnya disiplin banget. Maaf ya Gus, sementara kita LDR dulu hehe antara Jepang dan Indonesia”

“Ealah santai Sal, bagaimanapun pendidikan itu yang paling utama, santai aja jangan buru-buru”

“Berarti ini rekor LDR terjauh ya Gus?” Neng Salwa bertanya dengan nada bergurau namun di jawab begitu romantis oleh Gus Risky,

“Wah Jepang Indonesia itu hanya perihal jarak, nggak jauh sama sekali. LDR terjauh itu, ketika kamu mengucapkan Assalamu’alaikum namun kekasihmu membalasnya dengan Shalom...”

Neng Salwa tersenyum dan berkata,

“Waduh berat-berat. Memang aku nggak salah pilih orang hehe..”

Tanpa disadari senja yang dari awal ingin dinikmati Gus Risky telah menghilang. Memang seperti itu, jika keduanya telah saling mengobrol, dunia seakan milik mereka berdua, yang lain hanya ngekos,  belum bayar lagi. 

Akhirnya mereka mengakhiri obrolan dengan saling memberikan semangat seraya Gus Risky bergumam dalam hati,

“Tak apalah aku tak menikmati senja sore ini pun, ketika aku menikmati senja aku selalu teringat Salwa dan ketika aku teringat Salwa senja mah lewaaaaattttt.”


Oleh: Ahmad Nadlif  (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)

Editor: Uswatun Khasanah

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama