Ilustrasi Santri (Sumber: tebuireng.online)
Langit hari Rabu begitu cerah. Tetapi terik matahari tidak menyengat. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku. Ah, aku enggan memalingkan pandangan. Menatap awan sambil rebahan di atas padang rumput adalah kesukaanku. Aku merasa seperti bercengkerama dengan bapak. Bercerita apa saja. Sungguh, sedikit bisa melepas kerinduanku kepadanya. Dengan tangan hitamku aku menulis, menggambar, melukis abstrak dengan bebas. Melihat awan ibarat melihat masa depan. Selalu ada harapan.
“Hei Sahal! Sedang apa kau, dari tadi tidur saja. Ayo ikut main sepak bola”, teriak Roni dari tadi mengoyakiku untuk ikut main. Setelah kurasa cukup dan matahari juga sudah berpindah di atas kepala, aku menyusul mereka untuk ikut bermain. Belum sampai lima menit aku bermain, aku melihat mamak dari kejauhan seperti hendak menghampiriku.
“Sahal !! bantu mamak mengantarkan pesanan kue ke rumah bu Ida. Dari tadi ditunggu kok ndak pulang-pulang” Benar saja, mamak langsung mencercaku. Aku lupa kalau tadi mamak sudah berpesan kepadaku supaya cepat pulang.
“Lha kenapa ndak sama Salma saja toh mak? Nanggung, ini sebentar lagi selesai”
“Salma belum pulang dari mengaji le, ayo cepat sudah telat ini” ucap mamak sembari menggandeng tanganku.
“Iya iya ayok” ucapku dengan menghela napas.
Sudah satu tahun ini bapak meninggalkan aku, mamak, Salma, dan Safa. Bapak mengalami kecelakaan saat pulang dari ibu kota. Hanya bertahan satu minggu pasca kecelakaan karena luka yang lumayan parah di bagian belakang kepala. Alhasil mamak berperan menggantikan bapak menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam satu minggu itu bapak sempat sadar dan meninggalkan beberapa wasiat untuk kami. Wasiat yang cukup berat dan harus kutunaikan. Sebab aku adalah satu-satunya laki-laki dalam keluarga ini. Adikku Salma selisih tiga tahun denganku. Begitu juga Safa selisih tiga tahun dengan Salma, yang artinya selisih enam tahun denganku. Jika jenjang pendidikan baru datang keluarga kami sering kelabakan meminjam uang.
Saat itu rasanya aku ingin marah dengan bapak, karena menurutku bapak tidak adil dengan anak-anaknya. Bapak berpesan ketika Salma lulus dari SMP dan Safa lulus dari SD supaya dipondokkan ke Kiai Yasin, Pondok Pesantren Nurul Anwar. Letaknya di perbatasan kota. Karena bapak merasa aman jika anak perempuannya berada di bawah asuhan Kiai Yasin mengingat bapak tidak bisa membimbing kami lagi. Aku sudah pernah berkata kepada bapak bahwa pasca lulus SMA nanti aku akan nyantri ke Kiai Yasin dan mengabdi kepadanya.
Sebenarnya keinginan itu sudah lama, tapi bapak baru mengizinkan ketika aku lulus SMA. Akan tetapi wasiat itu justru menghalangi impianku tersebut. Bapak mengubah izinnya menjadi larangan. Bapak mengatakan bahwa aku harus membantu membiayai sekolah adik-adik, bapak sungguh melarangku. Aku benar-benar marah. Mukaku merah, tanganku mengepal pertanda menahan amarah. Bagaimana mungkin aku bisa membantah di saat kondisi bapak seperti itu.
Aku paham makna dibalik wasiat bapak tersebut. Saat itu aku mengira keputusan bapak melarangku hanya bersifat sementara. Karena aku yakin bapak pasti sembuh dan keputusan kembali berubah. Nyatanya aku salah. Keputusan bapak mutlak. Meskipun bapak tidak berwasiat demikian, aku tidak akan tega meninggalkan mamak bekerja sendirian menghidupi kami.
Aku anak pertama, tanggung jawabku sebagai kakak yang lebih dulu tumbuh dewasa sudah semestinya membantu mamak untuk menopang keluarga. Aku belajar bagaimana menjadi kakak sekaligus berusaha menggantikan peran bapak untuk adik-adikku. Keinginanku untuk nyantri kukubur dalam-dalam. Jika biasanya aku sering berkunjung ke perbatasan kota hanya untuk melihat santri yang lalu lalang sambil komat-kamit membawa buku saku dan mendengar syair-syair Arab, kini aku enggan meski sekadar mengunjunginya.
***
Hari ini adalah pengumuman kelulusan Salma. Aku yakin salma pasti lulus, karena dia selalu menjadi juara kelas.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku kepada mamak setelah mengambil rapot salma. Mamak tersenyum dan kulihat mamak menteskan air mata. Aku jadi gugup.
“Salma menjadi peraih UN terbaik se-kabupaten. Dia mendapat beasiswa untuk biaya pendidikan selanjutnya” mataku terbelalak, aku terharu. Langsung kuhampiri Salma dan mamak, kupeluk mereka berdua, dan tak lupa Safa yang ikut menyerobot dalam pelukan kami di tengah.
“Adik kakak selalu hebat, terima kasih Salma”, kucium keningnya.
“Aku kok ga dicium”, Safa menarik ujung bajuku dan memanyunkan bibirnya.
“Iya-iya sini kakak cium, adik kakak yang satu ini juga gak kalah hebat”, dan kucium keningya lalu Mamak tersenyum.
Sesampainya di rumah, mamak menghampiriku yang sedang rebahan di atas karpet.
“Le, Mamak pengen ngomong”, wajah mamak terlihat serius. Ada apa ini?
“Iya, Mak. Mamak pengen ngomong apa? Perihal sekolah Salma?” aku mencoba menebak. Mamak tersenyum dan mengusap kepalaku.
“Mamak sudah pikirkan matang-matang mamak pingin setelah pengumuman kelulusan Safa, kita langsung berangkat ke pondok Kiai Yasin” deg. Kembali mendengarnya membuatku teringat dengan wasiat bapak. Aku mengangguk.
“Iya, Mak. Nanti aku akan mempersiapkan apa saja yang diperlukan,”
“Mamak pingin kamu juga sekalian nyantri” aku langsung menatap mamak, tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Mamak tidak ingat dengan wasiat bapak?” aku mengingatkan mamak barangkali lupa.
“Tidak, Mamak selalu mengingatnya. Ini keputusan Mamak. Mamak ridha padamu.”
“Tidak, aku akan di sini membantu mamak. Biaya sekolah adik-adik tidaklah murah, Mak.”
“Iya, tapi Allah memberi kemurahannya dengan memberi Salma beasiswa. Itu cukup meringankan beban mamak. Itu artinya kamu masih memiliki kesempatan untuk nyantri kepada Kiai Yasin”
Aku bimbang. Akal pikiriku bersorak gembira. Akhirnya Allah memberiku kesempatan untuk impian ini. Akan tetapi hati kecilku merasa berat. Aku sungguh tidak tega meninggalkan mamak sendirian. wajah bapak dan wasiatnya terus membayangiku. Aku mencoba untuk menenangkan pikiriku ini dengan sholat lail. Tetap wajah bapak yang terbayang.
Bismillah. Kuputuskan bahwa aku akan sungguh melupakan impian itu. Aku akan terus tinggal bersama mamak. Biarlah adikku yang nyantri. Dengan mengunjunginya sudah cukup bagiku seperti halnya nyantri kepada Kiai Yasin.
***
Hari ini adalah hari keberangkatan Salma dan Safa ke pondok pesantren. Setelah menunggu pengumuman kelulusan Safa, dan aku juga telah membicarakan perihal keputusanku kepada mamak, kami memutuskan untuk berangkat. Berbagai perlengkapan sudah dipersiapkan. Aku meminta bantuan Pak RT untuk mengantar kami dengan mobil angkut yang biasanya dia gunakan pergi ke pasar.
Setelah sampai di pondok pesantren, aku benar-benar takjub. Tidak menyangka akhirnya aku menginjakkan kaki di tempat ini meskipun hanya mengantar. Dulu aku hanya bisa melihat lalu lalang kegiatan santri dari luar pagar pesantren. Sekarang aku mampu melihatnya secara langsung dan jelas. Dengan bantuan salah satu santri putra, sekarang kami berada di dalam rumah Kiai Yasin. Santri biasa menyebutnya dengan ‘ndalem Romo Kiai’. Pesan dari santri tadi, kami disuruh menunggu karena Kiai Yasin sedang sholat dhuha.
Tidak lama, setelah itu Kiai Yasin datang.
“Assalamualaikum, sudah lama Bu?” Sapa Kiai Yasin kepada mamak dan kami dengan ramah. kami menjawab salam bersamaan.
“Mboten Pak Kiai, kami baru saja sampai”, lanjut mamak.
“Asalnya dari mana Bu ?”
“Kami dari kampung salak Pak Kiai.”
“Oalah, tidak jauh dari sini ya. Bagaimana ada keperluan apa ini ?”
“Begini Pak Kiai, tujuan kami kemari yang pertama adalah silaturahmi dan yang kedua kami titip putri kami Salma dan Safa menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Tolong bimbing putri kami menjadi ahli ilmu yang diridhoi Allah SWT, hukum saja jika mereka bandel”, ucap mamak dan diakhiri dengan kekehan.
“Oh njih, saya terima putri ibu, Salma dan Safa. Semoga betah menuntut ilmu di pesantren”, jelas Kiai Yasin sembari tersenyum kepada Salma dan Safa. Sejak awal aku hanya menunduk.
“Lha mas-nya ini tidak sekalian mondok ?”
Aku terperanjat, “Oh mboten, Kiai. Kula membantu mamak di rumah. Kebetulan kula sampun lulus SMA. Biar adik-adik saya saja ini”, jawabku langsung kepada Kiai. Mamak menoleh kepadaku lalu kembali berbicara kepada Kiai Yasin
“Sebenarnya saya sudah menyuruh putra saya ini untuk sekalian nyantri, tetapi bapaknya berwasiat kepada kami agar Sahal ini menjaga saya di rumah. Padahal saya ridha jika Sahal nyantri, saya bisa mengurusi semua sendiri.” Setelah mendengar penuturan dari mamak, Kiai Yasin hanya manggut-manggut.
“Wasiat tetaplah wasiat. Nak Sahal tetap bisa memenuhi wasiat bapak tanpa merasa bahwa impian Nak Sahal tidak tercapai.”
“Sekarang coba saya tanya, santri itu memang siapa sih?” Kiai Yasin malah menanyaiku, harus aku jawab apa ini.
“Bukankah santri itu yang mengaji, tinggal di pondok pesantren, dan mengabdi kepada Kiai?” aku menjawabnya kembali dengan pertanyaan.
“Ha..ha..ha iya, poin yang terakhir betul. Tapi sebelumnya kurang tepat. Menjadi santri memang keistimewaan yang luar biasa. Santri itu mulia. Mulia di hadapan Allah juga mulia di hadapan manusia.”
“Seperti Nak Sahal tadi jika masuk gerbang pesantren maka akan menemukan salah satu tembok gedung yang diukir kaligrafi beserta terjemahannya. Tulisan kaligrafi itu adalah hakikat makna santri”
Aku mencoba mengingatnya. Aku bisa membaca huruf Arab karena bapak mengajariku sejak masih kecil. Kira-kira tulisannya begini. Santri tersusun dari huruf arab س-ن-ت-ر-ي di setiap huruf tersebut memiliki arti
س = سالك إلى الأخيرة (orang yang meniti jalan kepada akhirat)
ن = نائب عن المشايخ (pengganti para guru)
ت = تارك عن المعاصى (orang yang meninggalkan maksiat)
ر = راغب فى الخيرة (orang yang mencintai / senang akan kebaikan)
ي = يرجوا السلامة في الدين و الدنيا والأخير (orang yang mengharap keselamatan di dalam agama, dunia, dan akhirat)
Aku mengucapkannya kepada Kiai Yasin. Sejujurnya aku sudah hafal dengan baik. Karena setiap aku berkunjung tulisan di tembok gedung itu selalu menarik perhatian bagi siapa saja yang melewatinya.
“Nah maka dari itu, itulah hakikat santri yang sebenarnya. Penamaan nama santri ini tidak main-main. Ada pengharapan yang luar biasa dibalik nama santri. Oleh sebab itu santri tidak terbatas hanya orang yang tinggal di pesantren saja. Akan tetapi siapa saja yang memiliki sikap sebagaimana hakikat santri, dialah santri.” Aku mengangguk-angguk paham dan mengucapkan berkali-kali terima kasih kepada Kiai Yasin.
“Gerbang pondok pesantren terbuka untuk siapa saja yang ingin mengaji, tidak harus mukim di pondok pesantren. Kalau Nak Sahal berkenan, nanti bisa langsung bilang saja ke pengurus biar didata dan masuk data santri kalong”
*Santri kalong adalah santri/anak yang belajar di sebuah pondok tetapi tidak turut mukim atau menempati bangunan di pesantren.
“Alhamdulillah, terima kasih Kiai atas kesempatannya,” aku meraih tangannya untuk kusalami dan kucium dengan khidmat. Setelahnya Mamak berpamitan pulang.
***
Di atas padang rumput, aku kembali menyaksikan awan yang berwarna biru cerah. Seakan sedang tersenyum kepadaku.
“Pak, sekarang Sahal tau apa itu santri. Sahal akan belajar menjadi seorang santri.” Aku merasa wajah bapak benar-benar terukir di awan dan sedang tersenyum bangga kepadaku. Awan menjadi saksi atas semua harapan.
Oleh : Nayla Jannatul Ma'wa (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo)
Keren Nala ..👍
BalasHapus