Ilustrasi Wanita yang Sedang Memimpin Perang (Sumber: kalam.sindonews.com)
Pada zaman Rasulullah saw, wanita merupakan kaum yang dipandang rendah harga dirinya oleh bangsa Arab. Menurut mereka, wanita merupakan makhluk ciptaan Allah yang identik dengan kata lemah. Terbukti dengan rendahnya martabat wanita di zaman Rasulullah, khususnya kaum kafir Quraisy yang beranggapan bahwa wanita hanya menjadi beban di atas ketidakmampuannya dalam berkontribusi pada kehidupan bangsa Arab, salah satunya ialah dalam hal peperangan.
Walaupun sekarang pandangan tersebut sudah tidak lagi separah dan seburuk dulu, namun itu semua tetap menjadi sebuah permasalahan maupun penghalang bagi kaum wanita dalam menyetarakan derajatnya terhadap kaum laki-laki.
Hal ini dibuktikan dengan adanya salah satu tokoh revolusi yang memiliki cita-cita untuk menjunjung tinggi martabat wanita, di antaranya yaitu Raden Ajeng Kartini yang menjadi pelopor kebangkitan wanita di Indonesia, sekaligus menerbitkan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Berkat gerakan yang disuarakan Kartini, wanita mulai mengepakkan sayapnya, yang awalnya direndahkan dan diperbudak oleh kalangan yang lebih tinggi darinya, kini mampu menjadi pemimpin dalam ranah pemerintahan.
Seperti halnya zaman Rasulullah saw, pada masa itu kaum wanita sudah tidak lagi direndahkan, justru menjadi makhluk yang dimuliakan dan dihargai. Semenjak itu pula wanita mendapat kesempatan untuk memimpin perang, contoh saja Aisyah seorang istri Nabi Muhammad saw. Aisyah memiliki peran yang sangat penting dalam jalannya kepemimpinan pada awal penyebaran agama Islam. Ia sangat dipercaya oleh Nabi Muhammad saw karena memiliki wawasan yang luas, berfikir secara kritis, cerdas, dan memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Setelah Nabi Muhammad wafat, ialah wanita satu-satunya yang diamanahi menjadi pemimpin komunitas muslim di Jazirah Arab. Saat itu juga lahirlah cendekiawan-cendekiawan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan agama Islam, karena memiliki dedikasi yang sangat besar dalam menyebarkan agama Islam yang inklusif.
Baca Juga: EKSPLOITASI ALAM: PERBUATAN MUSYRIK YANG HARUS DIKENALI
Profesor Kajian Islam di Carthage College, AS, Fatih Harpci dalam tulisannya “Aisha Mother of The Faithful: The Prototype of Muslim Women Ulaman menggambarkan Aisyah sebagai istri Nabi yang berperan dalam tiga dimensi pekerjaan, di antaranya yaitu ranah domestik, ilmu pengetahuan, dan jembatan penyampai ajaran Islam yang kritis serta bersumber langsung dari Nabi Muhammad saw. Rasa keingintahuan dan antusias terhadap pengetahuan yang sangat tinggi menjadikan namanya masuk dalam salah satu daftar cendekiawan muslim setelah Nabi Muhammad saw wafat, kemudian menjadi tempat bagi orang-orang yang belajar berbagai cabang ilmu agama maupun pengetahuan umum lainnya.
Selain dilibatkan serta dimintai pendapat tatkala memutuskan suatu hal, Aisyah juga dikenal sebagai orang yang pertama kali membuka sekolah sekaligus menyediakan program beasiswa bagi mereka yang mau belajar sungguh-sungguh dari rumahnya. Ketika ada yang memelintir hadis tanpa memikirkan relevansi dan konteks, Aisyah hadir sebagai orang yang menyangkal dan mengoreksi kekeliruan tersebut. Tidak cukup sampai di situ, ilmu-ilmu yang dikuasai serta periwayatan hadis dengan jumlah sekitar 2.210 Aisyah pun mendapat gelar Al-Mukatsirin.
Nama Aisyah sering sekali diperdebatkan pada penelitian sejarah Islam kontemporer sebagai tokoh revolusioner feminis dalam agama Islam. Hal tersebut terjadi karena beberapa hadis yang diriwayatkannya sering menyeru kepada perempuan agar perannya tidak dipersingkat, tetapi mereka juga diharapkan mampu aktif dalam perkembangan dan kehidupan Islam. Wanita aktif yang dimaksud adalah contoh nyata dalam sejarah Islam yang mampu menggabungkan agama, aktivisme, pendidikan, dan kepemimpinan. Seperti riwayat Aisyah yang memberikan kritik terhadap hadis misoginis tentang menyerupakan perempuan dengan keledai:
و حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ قَالَ فَقُلْنَا الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ فَقَالَتْ إِنَّ الْمَرْأَةَ لَدَابَّةُ سَوْءٍ لَقَدْ رَأَيْتُنِي بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَرِضَةً كَاعْتِرَاضِ الْجَنَازَةِ وَهُوَ يُصَلِّي
Artinya: “Dan telah menceritakan kepadaku Amru bin Ali telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Bakar bin Hafsh dari Urwah bin az-Zubair dia berkata, Aisyah radhiyallahu’anhu berkata, “Apa yang memutuskan shalat?” Perawi berkata, “Kami menjawab, wanita dan keledai!” lalu Aisyah berkata, “Apa wanita itu adalah hewan melata yang jelek? Sungguh aku melihat diriku sendiri (sering) tidur melintang seperti jenazah di hadapan Rasulluah Shallallahu’alaihiwasallam, padahal beliau sedang shalat.”
Baca Juga: Handphone: Sebuah Reinkarnasi Angin
Adanya hal tersebut membuktikan bahwa Aisyah sangat memandang tinggi kedudukan perempuan dengan selalu mengedepankan sikap-sikap baik yang bisa ditiru dan digunakan sebagai contoh pada zaman sekarang. Harapan bagi wanita-wanita di dunia tidak hanya sibuk dengan urusan rumah tangga saja, namun juga bisa berkiprah di masyarakat dan mendapat hak yang sama dengan laki-laki.
Oleh: Emma Nur Halizza (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Editor: Uswatun Khasanah