Membumikan Moderasi dalam Perspektif Nusantara

Sebagai manusia yang beragama, hendaknya kita sadar terhadap tujuan dan pentingnya moderasi. Moderasi bukanlah sekedar membahas urusan atau kepentingan pribadi, melainkan sebuah hubungan yang melibatkan antar manusia. Seperti yang kita ketahui, Indonesia sendiri adalah negara yang plural dan multikultural, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT dari perbedaan, mulai dari suku, budaya, ras maupun agama.

Membahas tentang moderasi beragama tidak akan luput dari perdamaian negara yang semakin terkikis. Begitu sensitifnya terkait perbedaan, sebagian kelompok manusia beranggapan bahwa adanya perbedaan adalah sumber perpecahan. Tidak hanya dari segi kultur dan budaya, perbedaan agama pun menjadi permasalahan dalam waktu dekat ini. Sebenarnya bukan karena ajaran yang terkandung dalam agama tersebut, melainkan komunikasi antar pemeluk agama yang memiliki perbedaan pendapat terhadap apa yang mereka yakini.

Terkait hal tersebut telah Allah firmankan dalam QS. Al-Baqarah (2):143 yang berbunyi:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Demikian itulah kami telah menjadikan kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi-saksi (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW). Menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang dahulu kamu mengarah ke sana (Bait Al-Maqdis) menjadi kiblat kamu (sekarang ka’bah di Makkah) melainkan agar kami mengetahui (dalam dunia nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah SWT, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Baca Juga: Lika-liku Perjalanan Hidup Sayyid Quthub

Penjelasan kalimat  وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا menjadi tolak ukur “ smoderasi” dalam pandangan Islam. Maksud dari konteks ini adalah salah satu cara dalam membumikan moderasi dalam perspektif nusantara. Maka dari itu, pada esensinya kalimat “Ummatan Wasathan" (umat yang bersifat tengah-tengah) memiliki beberapa makna, diantaranya yaitu umat yang bersikap adil (‘adalah), toleransi (tasamuh), mengambil jalan tengah (tawasut), berkeseimbangan (tawazun), dan musyawarah (syura’).

Menurut tindakannya, moderasi beragama adalah salah satu cara untuk melakukan pendekatan melalui jalur kerjasama yang tidak memihak kepihak manapun, entah dari perbedaan agama maupun perbedaan madzhab. Agama Islam sendiri juga mengutamakan sikap moderat yang akan selalu mengedepankan toleransi, sehingga semua dapat terlibat dalam kelompok Islam yang rahmatan lil 'alamin (agama yang penuh kasih kasih sayang serta menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin tanpa bersikap anarkis).

Menilik pada implikasi sikap moderat, kita juga perlu mempunyai landasan dasar yang kuat. Dimulai dari hal-hal yang kecil, menumbuhkan dan mempertahankan sikap adil misalnya. Bersikap adil yang dimaksud disini ialah tidak berpihak kemanapun dan akan tetap berada di tengah-tengah namun juga bukan berarti tidak mempunyai pendirian. Adil tidak selalu sama persis, tetapi sesuai dengan porsi yang sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh, seperti orangtua yang hendak menghadiahi baju kedua anaknya, anak pertama mempunyai ukuran yang besar, sedangkan anak kedua berukuran kecil, namun mereka tetap diberikan baju tanpa harus mempertimbangkan ukurannya, karena yang terpenting keinginan dari kedua anaknya telah terpenuhi tanpa harus memihak kemanapun. Pada peristiwa tersebut bisa kita cermati bahwa adil bukanlah tentang ukuran, namun esensinya adalah kedua anak tersebut mendapatkan hadiah baju dari orang tuanya.

Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’:135, Allah SWT. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ  اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Wahai orang-orang yang beriman! jadilah kamu penengak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun kepada dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu, Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi. Maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”

Sikap selanjutnya adalah toleransi, yaitu sikap menghargai antar individu atau kelompok untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara. Ayat Al-Qur’an juga banyak yang membahas terkait sikap toleransi, dengan begitu kita dapat melihat bahwa Al-Quran benar mengajarkan kita untuk  menerapkan sikap toleransi terhadap sesama. Salah satu ayatnya yaitu QS. al-Hujarat:13.

يَا اَيُّهََا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْر

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Tuhan Maha Mengetahui lagi maha mengenal.”

Perbedaan adalah sebuah gangguan dan ancaman bagi makhluk sosial, karena dapat meruntuhkan paham monisme atau keesaan Tuhan. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi pengikut paham satu dengan yang lainnya. Perlu kita sadari bahwa keragaman adalah keniscayaan Tuhan yang menghendaki keragaman umat manusia, dari ras, suku, budaya hingga agama.

Setiap manusia juga tentu memilki perbedaan, seperti prinsip hidup, pendapat, maupun kepercayaan. Oleh sebab itu hendaknya kita menerapkan etika dalam berinteraksi antar sesama ataupun kelompok yang berbeda dengan mengutamakan akhlakul karimah. Dapat diharapkan bahwa praktik toleransi dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Sikap yang menjadi dasar berikutnya ada sikap tawasut, yaitu sikap netral yang berarti memiliki perinsip hidup dalam menjunjung tinggi nilai keadilan di tengan-tengah keragaman hidup bermasyarakat. Sikap ini hampir sama dengan toleransi, namun konsepnya tetap berada diposisi tengah.

Kemudian sikap tawazun (seimbang) adalah sikap keseimbangan antara kanan dan kiri. Prinsip ajaran islam inilah yang membuka jalan menuju kebenaran, keindahan, dan kebaikan bersama. Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam QS. al-Hadid:25.

لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ

“Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”

Baca Juga: Bahaya Radikalisme pada Umat Islam di Indonesia

Lalu sikap musyawarah adalah sikap yang sangat penting dalam moderasi beragama, karena dalam ini terjadilah antar dialog (bertukar pikiran) antar manusia, sehingga suatu permasalahan dapat terselesaikan secara  mufakat.

Allah telah berfirman dalam al-Qur’an terkait musyawarah, yakni dalam surat Ali-Imran:159.

 فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Pada ayat di atas terdapat prinsip moderasi yang berlaku lemah lembut kepada siapapun, karena mereka akan menjauh apabila menerapkan sistem kekerasan. Oleh karena itu sebelum menerapkan moderasi hendaknya kita mencermati dan mempelajari terlebih dahulu terkait lingkungan yang akan dihadapi.

M. Quraish Shihab dalam bukunya yang bertajuk "Wasathiyyah" pernah menyampaikan bahwa menerapkan wasatiah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat diperlukan upaya serius yang dikukuhkan dalam pengetahuan atau pemahaman yang benar, emosi yang seimbang, terkendali, kewaspadaan, dan kehati-hatian yang berkesinambungan.

Menjaga etika sosial tentunya tidak kalah penting dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam lingkup moderasi beragama. Dengan menunjukkan etika yang baik maka perbedaan justru akan menjadi nilai positif bagi lingkungan sekitar. Contohnya saling membantu dalam hal kesulitan meskipun berbeda agama.

Pembahasan tersebut menunjukkan bahwa etika sosial menganjurkan untuk saling menghormati satu sama lain, karena tujuannya untuk menjaga kerukunan dan perdamaian antar sesama umat di tanah air tercinta Indonesia.


Oleh: Ahmad Askarul Afkar (Mahasiwa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)

Editor: Uswatun Khasanah

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama