Awal mula, ada kisah seorang anak ulama besar yang dipondokkan oleh abahnya di suatu pondok pesantren yang bernama Gus Shofa. Akan tetapi, ketika di pondok Gus Shofa tidak pernah mengikuti kegiatan mengaji sama sekali. Sehari-hari ia hanya menghabiskan waktunya hanya tidur di kamar. Di mana bangunnya cuma untuk makan, sholat, mandi, dan mencuci, setelah itu dia tidur lagi.
Gelagat Gus Shofa memang berbeda dari santri-santri yang lain. Pernah suatu hari dia tertidur, sedangkan beberapa temannya sedang melakukan musyawarah di kamar membahas tentang pelajaran yang telah disampaikan tadi siang. Di sela-sela pembahasan, tiba-tiba Gus Shofa menyahut seolah-olah sudah paham dan mengerti. Padahal dia tidak pernah mengikuti pembelajarannya.
Sebenarnya teman-teman santri yang sekamar dengannya sangat ingin menegur kelakuannya itu, tetapi tidak ada yang memberanikan diri karena dia adalah seorang Gus, sebab takut kualat. Para pengurus juga segan dengan Gus Shofa sehingga merasa tidak enak kalau mau menghukumnya. Alasan lain, dikarenakan Abah dari Gus Shofa merupakan ulama besar yang sangat dihormati dan dimuliakan, beliau juga memiliki santri ratusan.
Namun selang beberapa pekan, akhirnya ketua pondok yang bernama Kang Didi, memberanikan diri untuk mengadu kepada Pak Kiai.
"Maaf, Pak Kiai, sudah hampir sebulan ini ada seorang santri yang hampir selalu tidak mengikuti kegiatan mengaji. Dia cuma tidur-tidur di kamarnya. Saya khawatir kalau santri-santri lain jadi terpengaruh.” Ujar Kang Didi.
"Lho, segera ditegur, Kang." Ucap Pak Kiai tegas.
"Mm... Jadi begini Pak Kiai, sebenarnya santri itu adalah Gus Shofa. Terus terang teman-teman santri dan saya sendiri merasa tidak enak kalau hendak menegurnya. Maaf, Pak Kiai."
"Oh.. Ya sudah, biar nanti Pak Kiai saja yang urus. Kamarnya yang paling pojok itu, kan?" Tanya Pak Kiai sambil melihat ke bangunan pondok.
"Iya, Pak Kiai." Jawab Kang Didi kemudian berpamitan. Dia berharap kelakuan Gus Shofa segera membaik sehingga tidak mempengaruhi perilaku santri-santri yang lain.
Seperti malam-malam biasanya, Pak Kiai selalu melaksanakan qiyam al-lail di musala pesantren yang terletak tepat di samping bangunan pondok. Ketika sudah selesai, beliau beranjak keluar dan tiba-tiba saja melihat cahaya yang sangat terang dari arah kamar paling ujung, yaitu kamar Gus Shofa. Pak Kiai sebenarnya ingin memeriksanya namun ada sesuatu yang mengganjal di hati beliau, sehingga diurungkan niat beliau.
Hal ini terjadi berulang-ulang. Tiap dini hari selalu ada cahaya yang sangat terang dan sumber arahnya selalu sama, yaitu dari kamar paling pojok, kamar Gus Shofa.
Keesokan harinya, Gus Shofa akhirnya dipanggil ke ndalem untuk menghadap Pak Kiai.
"Kamu sebenarnya punya aji-aji apa, Gus?" Tanya Pak Kiai tanpa basa-basi dengan tidak memberitahu apa yang beliau lihat beberapa malam terakhir.
"Maaf, aji-aji apa, Pak Kiai? Saya tidak punya apa-apa." Jawab Gus Shofa agak bingung bercampur kaget.
"Ah, serius kamu?". Sahut Pak Kiai.
"Iya, Pak Kiai." Tambahnya lagi dengan polos seperti memang tidak mengerti apa yang dimaksud gurunya itu.
Pak Kiai terdiam cukup lama, barangkali beliau sedang memikirkan sesuatu. Suasana di ruang tamu pun menjadi sunyi dan tenang. Gus Shofa juga tetap pada posisi duduk dengan kepala menunduk, tak berubah sedikit pun.
"Ya sudah kalau begitu." Ucap Pak Kiai seperti mempersilakan Gus Shofa kembali ke pondok.
"Nggih. Saya izin pamit ke kamar dulu, Pak Kiai. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Jawab Pak Kiai.
Dini hari berikutnya, cahaya yang terang itu muncul kembali. Pada kesempatan kali ini Pak Kiai memutuskan untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi di kamar Gus Shofa. Ketika tiba di depan pintu, betapa terkejutnya beliau melihat sosok tiga orang yang bersorban dan berpakaian serba putih tampak seperti sedang mengajarkan sesuatu kepada Gus Shofa yang sedang lelap tertidur.
Setelah Pak Kiai mengamati kembali, ternyata tiga orang itu adalah Nabi Khidhir a.s., Nabi Muhammad SAW, dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani r.a. Tak di sangka, ternyata selama ini ketika Gus Shofa tertidur, telah dididik oleh orang-orang yang sangat begitu mulia itu.
Oleh: A. Zulfa Muntafa (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Walisongo Semarang)
Editor: Rike Saidatur Rohmah