Muhasabah berasal dari akar kata hasiba, yahsabu, hisab yang secara etimologis berarti melakukan perhitungan. Menilik dari tulisan Sekjen Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Kusyairi Suhail menyebutkan muhasabah merupakan upaya evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan. Adapun terdapat empat hal penting dalam bermuhasabah, antara lain;
Pertama, muhasabah merupakan perintah Allah SWT. Sesuai dengan surah al-Hasyr ayat 18, bahwa setiap orang beriman diwajibkan bertakwa kepada Allah SWT. Setiap orang juga harus memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (akhirat). Kedua, muhasabah merupakan qodhayaa imaniyah atau diskursus keimanan. Artinya barometer keimanan seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana ia menerapkan muhasabah dalam kehidupannya.
Ketiga, muhasabah adalah karakter orang yang bertakwa. Menurut Ustaz Kusyairi, mustahil seseorang sampai pada derajat takwa ketika tidak pernah mengiringi kehidupannya dengan muhasabah. Padahal surga disiapkan Allah SWT hanya bagi orang yang bertakwa. Keempat, muhasabah adalah kunci sukses kehidupan manusia yang unggul. Generasi terbaik umat Islam adalah para sahabat. Sehingga kehidupan mereka tidak pernah lepas dari kegiatan muhasabah diri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwasanya muhasabah merupakan bentuk evaluasi seorang manusia. Evaluasi diri merupakan reaksi dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian, baik materi, sosial, spiritual, dan sebagainya. Alhasil yang didapat setelah mengevaluasi diri yakni, seorang dengan rasa penyesalannya itu akan segera memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Harapan setelah melakukan evaluasi ini agar seseorang bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari pada sebelumnya. Dengan demikian, masyarakat sekitar dapat menyadari sekaligus mementingkan urusan akhirat mereka daripada kepentingan duniawi.
Lantas, beranjak dari pembahasan mengenai kesalahan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi umum kesalahan ialah segala sesuatu perihal yang salah. Kesalahan juga dapat diartikan kekeliruan atau kealpaan. Kesalahan memiliki arti dalam kelas nominal atau kata benda. Sehingga kesalahan dapat menyatakan nama diri seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Secara global kesalahan dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan atau perilaku yang menimbulkan dampak negatif, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dampak negatif tersebut dapat berupa kerugian materi, spiritual, sosial, dan sebagainya.
Sedangkan ketika kita berbicara tentang kesalehan, hal ini merupakan bentuk ketaatan seorang manusia dalam beribadah atau kesungguhan dalam menunaikan ajaran agama. Kesalehan memiliki banyak ranting yang mempunyai berbagai pengertian. Di era milenial kesalehan identik dengan kesalehan individual atau ritual merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam teks memenuhi haqqulloh dan hablum minallah seperti salat, puasa, haji dan (ritual) lainnya. Sementara itu, istilah kesalehan sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam rangka memenuhi haqqul adam dan menjaga hablum minannas.
Tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial. Misalnya salat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total, bukan satu di antaranya atau malah tidak keduanya. Apabila tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan bukan kesalehan, namun perlu diingat, orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh serta orang saleh bukan berarti tidak punya kesalahan.
Pada saat yang sama, harus diakui seringkali terjadi dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan antara ibadah atau amalan sosial. Syekh Yusuf al-Qardhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam bukunya fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat bahwa kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus.
Terkait dengan kehidupan di dunia, dapat ditegaskan bahwa sebagai manusia harus mampu mengolah kesalahan menjadi kesalehan dengan harapan proses muhasabah menghasilkan pribadi yang lebih baik. Pada pengertian lebih jauh, mampu mengkonstruksi segala bentuk kesalehan total yang hakiki bukan sekedar proses evaluasi. Sehingga tujuan hidup di dunia dapat menjadi penunjang kehidupan di akhirat. Mari bersama mengubah perilaku keagamaan, dari perilaku individualis menuju sosialis, dari simbol ke esensi, dari sangkar ke burung, dari kulit ke isi, sehingga semua berjalan menuju ridho Allah.
Oleh: Muhammad Fadhil Wathani (Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Mantap lanjutkan
BalasHapus