Untuk mengenalkan syariat agama kini sangat mudah untuk didapatkannya. Apabila menemui persoalan, kini tinggal ketik lalu enter beberapa detik kemudian akan terjawab dengan artikel atau video yang lengkap dengan dalilnya.
Alih-alih beragama dengan benar sesuai tuntunan Al-Qur'an dan Hadis, namun kini yang didapat justru jauh dari kedua esensi sumber tersebut. Sangat mungkin tentunya, coba kita ulas bersama-sama.
Lanskap media baru menjadi ladang basah bagi siapapun untuk bersuara tanpa harus terikat status, kapasitas atau golongan tertentu. Tidak peduli memuat hal baik atau buruk, valid atau tidak, dan kasarnya (minterne po goblokne), semuanya campur baur dan renyah dinikmati.
Soal benar atau tidak, kita memiliki tolak ukur tersendiri. Tetapi yang perlu ditegaskan adalah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Sekadar hiburan tentu tidak masalah, lain halnya jika sudah memuat syariat agama, kita harus selektif dan berimbang. Karena agama adalah ketentuan ilahiah, penting untuk dipahami dengan cara belajar yang benar.
Dalam epistemologi Islam, terdapat istilah sanad yang berarti bersandar. Sanad lebih familiar dalam ulumul hadits, karena berkaitan erat dengan ketersambungan rawi sampai pada Rasulullah SAW, yang menjadi tolak ukur keshahihan sebuah hadits.
Sanad tidak lain adalah otentifikasi dari lisan Rasulullah SAW. Maka dari itu tidak terbatas dalam hadits tetapi juga soal akidah, tasawwuf, fiqh, dan cabang ilmu lainnya. Karena ini menyangkut soal kebenaran sumber perolehan penjelasan, baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah langsung dari lisan Rasulullah SAW.
Ini yang saya maksud harus selektif dan berimbang. Karena menyangkut doktrin agama yang didalamnya ada syariat dan cabang keilmuan Islam lainnya. Bukan buatan makhluk, melainkan ketentuan Allah SWT, yang di sampaikan oleh Rasulullah SAW.
Al-Qur'an dan hadis sangat cukup sebagai pedoman umat Islam dan hal yang mustahil apabila keduanya terdapat kekurangan. Menjadi permasalahan penting jika pedoman itu tidak bisa dipahami dengan sempurna. Alhasil tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah bahkan sangat terbuka untuk diselewengkan.
Solusi konkret adalah belajar langsung kepada Hadroturrasul Muhammad SAW. Sabda Rasulullah, "Sholluu kama roaytumuunii ushollii" (Sholat-lah kamu seperti kamu melihatku sholat). Karena kita sebagai umat Nabi Muhammad yang jauh sanadnya, tidak lain harus belajar kepada guru dan para ulama'. Tentunya guru yang jelas dan punya riwayat sanad yang muttashil (bersambung) sampai kepada Rasulullah.
Sebagai umat Islam yang kita harapkan tentu ridho Allah SWT. Bukan malah adzab karena ketidakmampuan dalam memahami agama atau beragama menurut kepentingan dan nafsu semata. Jika proses belajarnya saja tidak jelas, lantas bagaimana dengan pengamalannya?
Fenomena beragama khususnya di Indonesia, kini sedikit rumit. Kemunculan figur-figur yang mengaku muballigh dan geliat dakwah ustadz-ustadz hijrah sangat merisaukan. Tidak hanya mengaburkan substansi sanad sebagai bagian dari genealogi pemikiran Islam, popularitas dan gaya hidup mereka yang cenderung atributif menjadi tren kekinian dan membanggakan untuk diikuti. Motifnya (baca : Memahami Geliat Dakwah Seleb Hijrah, Islami.co) justru jauh dari esensi ajaran Islam.
Hematnya, jika fenomena itu berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, Islam menjadi sekadar atribusi yang kosong akan pemaknaan konseptual. Tentu berlawanan dengan hakikat Islam yang diperjuangkan Rasulullah SAW.
Islam yang dimunculkan dalam platform-platform media baru memiliki wajah yang beragam. Ada yang menonjolkan kesantunan, penuh kemarahan, termasuk pemahaman Islam yang hanya hitam atau putih itu salah, ini yang benar. Siapapun bebas memilih berdasarkan kemauan personalnya.
Menjadi persoalan adalah bagaimana kebenaran ajaran Islam jika dipahami secara personal (otodidak) tanpa hadirnya seorang guru yang mendidik dan menjelaskan, layaknya fenomena sekarang ini.
Prof. Quraish Syihab, dalam bukunya bertajuk "Islam yang Disalah Pahami" menegaskan sebuah tafsir pun dapat disalah pahami apalagi Al-Qur'an itu sendiri.
Dengan demikian letak sanad dalam memahami ajaran Islam sangat krusial. Kita harus mulai memahami bahwa dakwah seseorang itu bukan dinilai dari retorika dakwah kekinian dengan gimik semata tetapi lebih pada kemasyhuran dan pengakuan akan syiar Islam, termasuk silsilah sanad keilmuan yang membersamainya.
Dalam Islam juga ada mulazamah, yakni belajar langsung kepada guru dalam waktu yang lama. Ini dimaksudkan agar pemahaman agama bisa utuh dan sempurna serta membersihkan nafsu yang kapanpun bisa mengelabuhi-nya.
Dalam Qanun Asasi, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa guru merupakan pemegang kunci pintu pengetahuan. Lebih lanjut Syaikh Mahfudz at-Tarmasi, menunjukkan bahwa dalam kenyataannya kemurnian ilmu sanad sangat meyakinkan bagi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan. Supremasi ini tidak pernah dipertanyakan oleh mereka yang memiliki pemahaman keagamaan, intelektualitas, dan akal yang sehat.
Lebih dari itu urgensi sanad bukan sebatas tradisi lisan dalam proses transmisi ilmu. Manifestasi Keberkahan dari sanad keilmuan justru ada pada nilai- nilai yang bersumber dari dalam hati secara turun temurun dari Rasulullah SAW.
Sulit dibayangkan, jika hal itu diperoleh dengan belajar agama secara mandiri (otodidak) atau hanya sekedar mengamini ceramah- ceramah instan yang bermunculan di platform digital tanpa memperbarui pemahaman agama langsung dari guru dan para ulama'. Walaupun sarana belajar Islam sudah lebih modern, instan, dan mudah untuk diakses, seyogianya tidak lantas melunturkan konsep sanad sebagai bagian dari Islam itu sendiri.
Dalam surat al- Jumu'ah ayat kedua, bisa dipetik kesimpulan bahwa Rasulullah SAW, diutus oleh Allah SWT, di dunia untuk 3 hal: membacakan ayat- ayat-Nya, menyucikan jiwa, dan mengajarkan Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (As-Sunnah).
Disitulah pentingnya seorang guru, bukan semata untuk belajar agama, tetapi sekaligus menghantarkan jiwa agar kemanfaatan dan keberkahan ilmu bisa diperoleh dengan sempurna.
Oleh: Muhammad Ilham Sofyan (Mahasiswa IAT UIN Walisongo Semarang).
Editor: Rike Saidatur Rohmah