Al–Qur’an sebagai kitab suci yang berisi teks-teks sakral yang merupakan sumber hukum Islam. Dengan kandung universal, banyak orang telah membicarakannya dan menulis, tetapi tetap saja belum bisa dipahami dengan baik. Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, persoalan muncul dalam kehidupan sosial yang penuh tantangan dan dinamika persoalan hukum terus berlangsung dan berubah seiring perkembangan dalam permasalahan-permasalahan hukum. Dalam literatur lain dijelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai great book dalam perspektif budaya yang dapat didekati dengan pendekatan antropologis.
Kitabullah Al-Qur’an dianggap sebagai petunjuk, tentunya harus dipahami, dihayati, dan diamalkan. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahaminya, bahkan para sahabat Nabi Muhammad saw. sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara ilmiah struktur bahasa dan makna kosa katanya.
Wahyu Allah yang disebut Al-Qur’an meskipun berisi teks-teks sakral, dalam proses pemahamannya masih belum dipahami dengan baik menurut M. Arkoun dalam bukunya yang berjudul "Berbagai Pembacaan Al-Qur’an". Al-Qur'an dengan statusnya great book dalam konteks budaya dapat didekati dengan pendekatan antropologis menurut Richard C. Martin (ed), dalam bukunya "Approach To Islam in Religious Studies". Siapapun yang mendalami Al-Qur’an belum dikatakan sempurna dalam proses memahami dari konteks turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, memahami secara ilmiah struktur bahasanya dan makna kosa katanya, menurut M. Quraish Shihab, dalam bukunya "Membumikan Al-Qur’an".
Dalam sejarah, Rasulullah saw. mengemban tugas untuk menjelaskan maksud dari firman Allah Swt. Maka seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan seputar kajian Al-Qur’an, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman, berbagai penafsiran Al- Qur’an terus berkembang, dengan berbagai corak dan para ulama serta intelektual muslim telah melahirkan konsep pemahaman Al- Qur’an dengan penafsirkan dan metodologi tafsir Al-Qur’an menurut Nashruddin Baidan dalam bukunya "Metodologi Penafsiran al-Qur'an".
Sepeninggal Rasulullah saw. para sahabat mendalami kitabullah dan mengetahui rahasia yang tersirat dan yang menerima tuntunan serta petunjuk beliau, merasa terpanggil untuk tampil ambil bagian dalam menerangkan dan menjelaskan mengenai apa saja yang mereka ketahui dan mereka pahami mengenai Al-Qur’an.
Ditemukannya konsep Qur’ani norma-norma sejarah dalam Al-Qur'an merupakan capaian yang besar sebab seperti yang diketahui, menurut Sadr, “Al-Quran adalah kitab pertama yang dengan tegas dan meyakinkan mengatakan kepada kita tentang adanya norma-norma sejarah, dan dengan keras menentang gagasan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah terjadi secara otomatis”. Ia juga menolak pandangan bahwa karena segala peristiwa telah ditentukan oleh Tuhan, maka kita tidak punya pilihan lain kecuali pasrah menerimanya.
Dalam hal ini jelas bertentangan dan berbeda juga dengan teori dialektis yang dibangun Hegel dan Karl Marx, yang mengatakan bahwa manusia memiliki kemerdekaan mutlak, dimana setiap jalan yang dipilih manusia, termasuk dalam bentuk gerak maju atau perkembangan sarana-sarana produksi, harus diklaim sebagai jalan roh alam. Kebanyakan orang memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai serangkaian kejadian yang tak ada kaitannya (discontinouity). Mereka menafsirkannya atas dasar kebetulan, nasib, atau kekuasaan Allah yang ketentuannya tak bisa ditentang. Al-Quran secara mutlak menentang gagasan yang salah ini. Ia tidak memandang suatu peristiwa sebagai tanpa sebab atau sebagai manifestasi kekuasaan Allah yang tak bisa ditentang.
Sebaliknya, ia mengatakan kepada akal manusia bahwa bidang sejarah diatur oleh hukum-hukum dan norma-norma tertentu, dan bahwa untuk bisa menguasai nasibnya sendiri, manusia harus mengetahui hukum-hukum dan norma-norma tersebut. Dalam hal ini Sadr menulis dalam satu rangkumannya: “Jika Anda sadar akan hukum-hukum ini, maka Anda bisa memengaruhinya. Tetapi jika Anda menutup mata terhadapnya, maka hukum-hukum itu pasti akan mengalahkan Anda. Oleh karena itu Anda harus membuka mata agar bisa mengenali dan menguasainya, bukannya dikuasai olehnya."
Masih juga menurut Sadr, tiga prinsip dasar bisa diturunkan dari ayat-ayat Al-Quran untuk membuktikan keberadaan norma-norma sejarah. Al-Quran telah menekankan prinsip-prinsip atau kenyataan-kenyataan ini, dan mengemukakan hukum-hukum sejarah melaluinya.
1. Norma-norma sejarah bersifat universal. Mereka sangat kokoh dan tak pernah meleset, tidak bersifat kebetulan atau serampangan. Selama dunia berjalan dengan caranya yang normal dan tidak ada perubahan di dalamnya, maka keumuman dan universalitas hukum-hukum sejarah mengukuhkan sifat ilmiah dari norma-norma ini, sebab sifat terpenting dari hukum-hukum ilmiah adalah universalitas dan kemutlakannya yang tak mengandung kekecualian. Itulah sebabnya, ayat-ayat Al-Quran berikut ini menekankan universalitas hukum-hukum Ilahi.
2. Al-Quran adalah kesucian hukum-hukum dan norma-norma ini. Norma-norma sejarah bersifat Ilahiah, dalam pengertian bahwa mereka telah ditetapkan oleh Allah. Al-Quran juga telah menggambarkannya sebagai “kalimat-kaliamt Allah”. Dengan kata lain, setiap hukum sejarah adalah firman Allah. Ia adalah aturan Ilahi. Untuk mempromosikan ketergantungan manusia kepada Allah, Al-Quran menekankan keilahian dan sifat sakral norma-norma sejarah. Manusia hanya bisa menikmati hasil-hasil alam melalui pertolongan Allah. Jika dia ingin menikmati seluruh sistem dunia ini, dia harus bertindak sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma sejarah, sebab Allah mengoperasikan kekuasaannya melalui norma-norma ini, yang mencerminkan kehendak, kebijaksanaan, dan bimbingan-Nya.
3. Al-Qur’an adalah kenyataan. Penekanan terhadap kebebasan memilih telah menimbulkan kesan yang keliru bahwa terdapat semacam kontradiksi antara kebebasan manusia dengan norma-norma sejarah. Tampak bahwa jika kita menerima eksistensi norma-norma sejarah, maka kita harus mengolah gagasan kebebasan manusia dan gagasan bahwa manusia bebas memilih tindakannya. Tetapi jika kita mengetahui bahwa manusia adalah makhluk yang merdeka dan mempunyai kebebasan berkehendak dan memilih, maka kita tidak bisa menerima keberadaan norma-norma sejarah dan harus mengingkari keberadaan suatu hukum dalam hal yang demikian.
Dari sini, karena Al-Quran ingin membuktikan keberadaan norma-norma sejarah, maka dengan sendirinya ia juga harus memerangi kesan yang keliru ini. Itulah sebabnya mengapa Al-Quran sangat menekankan kenyataan bahwa kehendak manusia memainkan peran utama dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini. Dari tiga pilar di atas dapat ditegaskan bahwa peran dan kebebasan manusia untuk menentukan aksinya menjadi hal yang sesuai dan keharusan untuk mengikuti dan menyahuti norma dan hukum sejarah. Di sanalah yang menentukan kesuksesan seseorang dalam hidupnya atau kegagalan yang mengitari karena tidak memenuhi tuntutan wahyu Allah dimaksud.
Oleh: Siti Husnul Muafah (Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Editor: Alifya Nur Faizah