Al-Qur’an dan Tafsir adalah dua hal yang sering didengar dan disandingkan. Dari sini muncul istilah tafsir Al-Qur’an. Namun, sudahkah kita mengerti makna tafsir, Al-Qur’an dan gabungan keduanya; tafsir Al-Qur’an? Mengingat, definisi adalah hal yang penting sebelum membahas suatu kajian ilmu lebih jauh lagi.
Berikut akan diuraikan secara singkat makna dari Tafsir, Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an. Dengan harapan, agar jelas makna secara bahasa dan istilah dalam kajian ilmu tafsir Al-Qur’an. Selanjutnya, dapat dikaji lebih jauh di berbagai sumber yang otoritatif.
Ada dua kata dalam “Tafsir Al-Qur’an” yang perlu kita definisikan terlebih dahulu. Yaitu kata Tafsir dan Al-Qur’an. Kaidah definisi yang baik itu harus “jami’ wa mani”. Yakni harus mencakup segala bagiannya dan menyingkirkan segala hal yang bukan bagian darinya. Mari kita simak ulasan sederhananya:
Pertama, kata tafsir. Secara bahasa, tafsir terambil dari bahasa Arab dan bermakna al-bayan, al-ibanah, alkasyfu atau imathatu litsam, bermakna penjelasan (exegesis) atau penyingkapan tabir.
Dengan demikian, tafsir berarti suatu upaya untuk menjelaskan atau sebuah usaha untuk menyingkap tabir yang menutupi suatu objek. Inilah makna tafsir. Adapun secara istilah (terminologi), tafsir bermakna suatu ilmu yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kadar kemampuan manusia.
Baca Juga: Nabi Muhammad Sosok Prestasi Terbesar Penciptaan Alam Semesta
Kedua, kata Al-Qur’an. Lagi-lagi, kata ini terambil dari bahasa Arab dan bermakna, al-maqru’; yang dibaca. Lebih dalam lagi, kata ini memiliki asal kata al-jam’u; kumpulan atau himpunan. Secara bahasa, boleh jadi Al-Qur’an bermakna kumpulan kata yang menjadi kalimat, kemudian menjadi ayat dan menjadi surat. Kemudian terhimpun di dalamnya kisah dan hikmah, serta sering dibaca oleh umat manusia.
Selain hal tersebut, di dalam dunia perkuliahan tentu berbeda dengan dunia sekolah dulu, jika dalam sekolah kita masih seperti disuapi dalam penerimaan ilmu, maka saat kuliah, kita sendiri yang mencari-cari tahu soal ilmu tersebut, kita sendiri yang bertanggung jawab atas ilmu yang kita peroleh. Seringkali dalam dunia perkuliahan kita sendiri yang mencari materi kuliah yang tekait, dan sering juga menemukan istilah-istilah baru, kosa kata baru dalam materi-materi tersebut.
Hal yang seru sekaligus sulit untuk kita yang bingung bagaimana memahami istilah-istilah dan kosa kata baru dalam sebuah materi, terlebih lagi dalam prodi iat, mungkin kebanyakan dari kalian masih sangat-sangat asing dengan beberapa judul-judul materi, kosa kata asing, istilah-istilah baru yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dalam kelas, dan hal tersebut pasti sangat berpengaruh dalam pemahaman kita mengenai materi yang akan kita dapat, terkadang ketika mendengar atau membaca bahasa-bahasa asing untuk pertama kali, kita sering merasa putus asa, dan menganggap bahwa kosa kata tersebut adalah makna yang sulit padahal, sesungguhnya makna kosakata itu sungguh sederhana, misalnya.
Riwayah : al-qur’an, hadis, ijma’ & qiyas
Tafsir bil ma’stur : tafsir al-qur’an yang kandungannya lebih banyak riwayah dari pada logika
Tafsir bir ra’yi : tafsir al-qur’an yang kandungannya lebih banyak logika dari pada riwayah
Tafsir falsafi : tafsir al-qur’an dengan filsafat
Mantuq : makna tesirat (maksud lain disebalik tulisan)
Mafhum : makna tersurat (maksud yang sesuai tulisan)
Amstal : perumpamaan
Aqsam : sumpah
Amm : umum
Khos : khusus
Jadal : debat
Qasas : kisah
Nasikh Mansukh : dibatalkan hukumnya & ayatnya tetap
Takhrij : Kegiatan menemukan sumber asli suatu obyek
Takhrij hadis : kegiatan menemukan sumber asli suatu hadis
Mukharij : orang yang mentakhrij
Sanad : sambungan antara periwayat hadis dengan periwayat hadis yang lain
Matan : isi/maksud/materi dari sebuah hadis (ibarat di alqur’an adalah ayatnya)
Rawi : orang yang meriwayatkan hadis (membicarakan matan hadis keorang lain)
Rijal al hadits : orang-orang yang meriwayatkan hadis
Mukharij : orang yang mentakhrijkan hadis
Jarh : menilai negatif seorang periwayat hadis
Ta’dil : menilai positif seorang periwayat hadis
Baca Juga: Sanad Bukan Sekadar Tradisi Simbolik-Hierarkis Dalam Memahami Agama
Sebagai seorang Mufassir, kita dituntut untuk memahami istilah sederhana seperti contoh diatas. Namun, tidak sampai disitu, kita juga diharuskan untuk menguasai pemahaman tentang Tafsir, Misalnya secara garis besar, Tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab suci Al-Quran yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia agar selamat baik ketika di dunia sampai di akhirat kelak. Sangat mustahil seseorang akan paham Al-Quran secara kamil atau sempurna kalau tidak tahu tentang tafsirnya.
Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran dengan berbagai ragam cara. Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim, bahkan tak jarang hal ini berkembang.
Terdapat berbagai penguasaan yang harus ada pada diri seorang Mufassir berupa, Kaedah keilmuan yang disyaratkan bagi seorang mufassir antara lain adalah meliputi ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits dan Ilmu Mauhibah, ilmu Science dan Teknologi, ilmu-ilmu humaniora
Terlepas dari semua hal diatas, menjadi seorang Mufassir tidaklah mudah, namun, setidaknya harus mampu memenuhi beberapa aspek, diantaranya adalah Berakidah yang benar, Mampu mengekang hawa nafsu, menafsirkan ayat dengan ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat sahabat, merujuk pendapat tabi’in, menguasai bahasa Arab, dan lain-lain.
Baca Juga: Rahasia Cepat Terkabulnya Doa
Adapun adab seorang mufassir dalam meanfsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu syariat hendaknya mempunyai tujuan dan tekad membangun kemashlahatan umum, berbuat baik kepada Islam dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan menjadikan ilmunya bermanfaat sebagai buah keikhlasannya.
2. Berakhlak mulia, karena mufassir bagai seorang pendidik. Pendidikannya yang diberikan itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa, jika ia tidak menjadi panutan dengan akhlaq dan perbuatan mulia, memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan terkadang dapat mematahkan jalan pikirannya.
3. Taat dan amal. Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya daripada yang hanya hebat dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan menjadikan mufassir sebagai panutan yang baik bagi pengalaman masalah-masalah agama yang ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang luas pengetahuannya hanya karena orag tersebut berperilaku buruk dan tidak mengamalkan ilmunya.
4. Jujur dan teliti dalam penukilan. Ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
5. Tawadhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6. Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta, tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan kekuasaan bagai peminta-minta yang buta.
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa lalim.
8. Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berja;an, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
9. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tenang dalam berbicara, tidak terburu-buru, mantap dan jelas, kata demi kata.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya. Seorang mufassir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah wafat. Tetapi hendaknya ia menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.
11. Siap dan metadologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran, seperti memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan struktur kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan i’rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan konteks kehidupan umum yang sedang dialami, kemudian mengambil kesimpulan dan penetapan hukum
Oleh: Irfa Yuhanida (Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)
Editor: Aldi H