Berbeda masa berbeda pula tantangannya. Begitu juga dengan fenomena modernitas di abad 21 yang semakin kompleks dengan tantangan dan polemik permasalahan keumatan. Di era society 5.0, berbagai kemudahan akses informasi dan teknologi lah yang justru menjadi previlege sekaligus akar permasalahan itu sendiri. Teknologi memudahkan kita untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi. Asal ada koneksi internet, komunikasi bisa terjalin melalui berbagai platform media sosial (medsos) tanpa ada sekat ruang dan waktu. Secara virtual kita bisa dengan mudah berkomunikasi, berinteraksi, bertukar informasi serta mengekspresikan diri.
Namun, arus digitalisasi tersebut juga membawa dampak negatif bagi kehidupan fundamental manusia. Salah satunya yang berkaitan dengan akhlak dan laku sosial. Membincang soal medsos dan dampak negatifnya, terkhusus dalam ranah ke-Indonesia-an, terproyeksikan dalam data hasil survei dari Microsoft melalui laporan Digital Civility Index (DCI) 2020, bahwa Indonesia dinobatkan sebagai warganet (warga internet) paling tidak rumah se-Asia Tenggara (Pusparisa 2021).
Dihadapkan nya manusia dengan dunia maya sebagai jejak sosial manusia di dunia virtual sekaligus menjadi dunia kedua setelah dunia nyata. Oleh karena itu perlu adanya penyesuaian, sebagai sifat asli manusia yang adaptif dan dinamis dalam menghadapi tantangan zaman. Karena bagaimana pun kemajuan digital tidak dapat dihindari baik manfaat juga mudaratnya dan al-Qur'an sebagai rujukan utama (way of life) umat Islam telah menawarkan berbagai solusi yang dapat diimplementasikan agar mampu berlaku baik di kedua dunia tersebut. Yakni mengadopsi prinsip tafaqquh fi al-din ke dunia digital (tafaqquh fi digital). Yang oleh Nabi disabdakan urgensi tafaqquh fi al-din dalam bertambahnya kebaikan dan mewaspadai segala persoalan (lihat hadis riwayat Imam Bukhari (2002)).
Pembacaan Makna Tafaqquh Fi al-Din Term tafaqquh merupakan derivasi dari kata fa-qa-ha diartikan mengerti atau memahami. Dalam Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur (1990), fiqh berarti pengetahuan atau pemahaman tentang sesuatu yang secara spesifik merujuk pada ilmu agama. Sementara Raghib al-Asfahani (2008) salah satu pakar bahasa. menafsiri al-Fiqh sebagai usaha untuk mengetahui sesuatu yang tersimpan dengan menggunakan pengetahuan yang nyata (wujud/tampak),
Dalam term Arah, al-Fiqh memiliki beberapa padanan makna seperti al-Fikr (berpikir dalam hati), al-Nazhr (memperhatikan mengambil pelajaran; menunggu), al-Bashr (melihat dengan cermat), al-Sam' (mendengar). Al-Dabr (berpikir komprehensify, al-Dzikr (mengingat kembali), dan al-"Agl (kesiapan pikiran) (Fadli 2017). Kesemua padanan makna di atas (saya kira) mewakili hal-hal (skill) yang memang perlu dan harus diimplementasikan dalam bersosial di dunia digital.