Al-Qur'an merupakan kalamullah yang di turunkan kepada Nabi Muhamad saw, yang dinukil atau diriwayatkan secara mutawatir. Seperti yang sudah kita ketahui, Al-Qur'an adalah kitab suci dan bagian penting dalam hidup umat Islam sebagai petunjuk. Rangkaian ayat dan surat yang tersusun rapi, sebagai komplikasi wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw dari Allah Swt secara berangsur-angsur.
Al-Qur'an berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada zaman umat Nabi Muhammad saw. Al-Qur'an yang sudah berwujud sebagai kitab sudah berpindah masa dari ribuan tahun yang lalu. Orang yang mempunyai otoritas pertama yang menafsirkan Al-Qur'an adalah Nabi Muhammad saw. Maka dari itu, diperlukan suatu ilmu pengetahuan untuk mengupas makna lafadz dalam Al-Qur'an.
Karena pada dasarnya apa yang disabdakan Nabi tidak keluar dengan tempat dan waktunya. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa Nabi masih terikat dengan zona tempat dan waktu. Ketika Nabi di Mekkah maka menyesuaikan tempat dengan Mekkah begitupun sebaliknya ketika Nabi sedang berada di Madinah maka menyesuaikan tempat dengan Madinah.
Dalam menafsirkan Al-Qur'an, mufassir harus merujuk kepada perkataan para sahabat. Karena orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah saw adalah para sahabat. Mufassir yang paling benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para sahabat Nabi. Lalu, apa batas minimal seseorang menjadi mufassir? dan apakah sebagai seorang mufassir harus mencakup semua persyaratan?.
Mengingat bahwa semakin minimnya kajian tentang Al-Qur'an dapat menimbulkan kekacauan di masa yang akan datang. Hal ini dipandang perlu untuk mensinergikan syarat-syarat mufassir dengan kebutuhan zamannya dan realitas permasalahan umat, agar keilmuan tidak berhenti hanya pada zaman permasalahan klasik.
Menjadi seorang mufassir tentu tidaklah mudah, diperlukan beberapa keahlian khusus yang harus dimiliki dan dipahami oleh seorang mufassir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufassir.
Selaku pemateri, Agus Rifto menjelaskan bahwa terkait dengan kapasitas mufassir untuk membuktikan produk yang dimunculkan Nabi Muhammad saw sebagai penafsiran saat itu masih membutuhkan data dengan jelas. Data-data yang perlu dimunculkan lagi untuk memperjelas, bisa jadi itu akan mempermudah kita untuk mengetahui dasar-dasar ilmu tafsir.
Di bagian akhir, kita dapat simpulkan bahwa pada intinya untuk menggeluti dunia tafsir diperlukan pemahaman yang komprehensif. Sangat luas untuk kita mengembangkan potensi kita. Kita sebagai mahasiswa tafsir jangan merasa malu dengan apa yang kita geluti sekarang, banyak celah-celah yang dapat kita masuki dalam ranah yang lebih unggul.
Oleh: Nazilah Nuril Farikhah (Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang)