Menapaki Medan Curam Bagi Penempuh Kebenaran





Berpikir bahwa kita sedang berlari tetapi keadaan sebenarnya adalah terdiam, merupakan sebuah keniscayaan. Adakalanya juga kadang kita terdiam namun ternyata mengalir tanpa ada suatu sebab. Berbicara sendiri dengan konsentrasi rohani menimbulkan khayalan yang tiada akhir. Suatu ketika aku terdiam sambil mendambakam kejadian ajaib yang akan menimpa diriku sendiri. Alhasil, di akhir aku tak mendapatkannya. Menurut ahli yang biasa merasakannya, itu karena kamu belum menyatukan dirimu yang sejati. Singkatnya, diriku tidak mendapatkan fenomena itu.

Tiada kenyataan yang lebih nyata kecuali surga. Surga sendiri dapat ditempuh dengan kerja keras yang diimbangi dengan ketulusan. Aduhai ketulusan, di mana letak ketulusan? Teringat dengan ketulusan yang harus dijalani, dikala orang sibuk meluruskan ketulusan, diriku malah sibuk dengan perilaku yang tak sebanding dengan realita tulus. Kurasa diriku terlalu jauh tuk memahami tulus. Sehingga kejelekan pun ku anggap kebaikan yang belum sempurna. Kasihan orang yang mencintaiku dengan tulus. Mereka mengalami kejanggalan dengan perbuatanku, merelakan yang tidak harus direlakan, menjalaninya dengan penuh kesakitan, dan tak dihiraukan.

Bagiku tiada sakit, hanya saja kesehatan yang belum digunakan dengan sebaiknya. Sakit yang ku alami bukan lah sakit raga yang bisa sembuh hanya dengan obat. Dalam pandanganku obat hanyalah pembantu reaksi tubuh yang sedang butuh bantuan, bukan penyembub sejati. Tapi ternyata hanya obat yang dipuji oleh kebanyakan orang.

Terkadang terbesit juga dalam pikiranku, kejelekan yang kualami bukan kesalahanku, kebaikan yang kujalani juga bukan prilakuku, tetapi semua di bantah oleh agamaku. Karena apa yang ku perbuat adalah tanggung jawabku sendiri. Kadang agak aneh melihat kehidupan ini, menjalani tetapi tidak berjalan, mendiami tetapi tidak diam. Hanya karena itu aku menjadi aneh.

Tertawa sangatlah mengasikkan, tetapi menangis juga asik. Hanya selama perjalanku menangis adalah hal yang berat untuk dilakukan. Dan sebaliknya, tertawa adalah hal yang sangat mudah. Keanehan yang terlihat, semua adalah guyonan. Mungkin ada sebagian orang yang bisa menangis dengan mudah, entah apa yang dia rasakan. Menurutku mungkin sama seperti yang ku rasakan ketika aku tertawa. Memang, puncak kebahagia adalah air mata. Begitulah yang dituturkan guru saya, Gus Mus dalam qouete nya.

Hidup adalah rasa bagi para perasa. Dan dalam kehidupan ini, kita adalah kokinya. Apapun yang hendak kita masak adalah tergantung kita sendiri karena kita adalah kokinya. Duhai para koki, rasakanlah masakanmu dengan kenikmatan paling sempurna.

Berkata Baron Pierre de Corbertin, “Yang terpenting dalam kehidupan bukanlah kemenangan, namun bagaimana bertanding dengan baik.” Jika koki memasak dan ia mengeluh dengan alat masaknya, sejatinya dia tidak terampil dalam memasak.

Indahnya kebersamaan dibandingkan dengan indahnya kesendirian terbilang sama. Semuanya menemukan titik yang tidaklah jauh berbeda yaitu kepuasaan pribadi dan pengalaman. Namun, terkadang indahnya kesendirian tidak bisa dijabarkan, hanya karena terjadi di dalam hati, atau pikirannya saja yang kesulitan menjelaskan.

Kebenaran yang semu saling berkaitan dengan kesalahan yang nyata. Kecenderungan berbuat salah yang lalu diakhiri dengan penyesalan adalah bentuk ekspresi dari kebahagiaan. Banyak sekali orang mencari momen, dalam bentuk apapun. Misalnya, seseorang ingin menjadi yang terbaik dan dia berjuang untuk mendapatkannya, maka perjuangannya adalah momen terbaik baginya.

Berlari kesana dan kesini hanya untuk mencari hal yang tak berwujud. Adanya semesta raya ini karena hal yang tak berwujud. Dia tak bisa dibilang wujud karena Dia lebih wujud dari yang wujud. Hanya, kita sebagai manusia tak mampu untuk menemukan bahasa yang tepat untuk itu. Seterbatas itu bahasa manusia dalam memahaminya.

Nafsu adalah musuh bagi mahluk yang bernama manusia. Kita orang Indonesia mendengar kata nafsu akan berfikir dan merujuk pada hal negatif, akan tetapi jika melihat pada bahasa arabnya dan merujuk arti aslinya, ternyata nafsu itu adalah kita sendiri. Berarti musuh kita adalah angan-angan kita sendiri.

Berangan-angan yang tinggi dan bercita-cita yang tinggi, berati dia sedang bernafsu. Dalam arti lain silahkan kamu bernafsu tetapi jangan ikuti nafsu tersebut. Sangatlah lucu jika engkau ikuti nafsumu. Nafsu adalah kejelekan dan dirimu itu adalah kejelekan itu sendiri tanpa kamu pahami. Yang Maha Tinggi mencela dirimu dengan pujian, sedangkan engkau memujinya dengan tulus. Dan disitulah terjadi keajaiban. Sepengalaman saya keikhlasan akan terjadi disaat baik dan buruk. Sewajarnya manusia, kita harus paham akan diri kita sendiri agar selanjutnya dapat mengenali dan memahami siapa Rabb kita, mungkin saya sudah menemukan, itulah lelucon hidup saya.

Kadang kala hanya terpikir oleh waktu, kalau saya tiada, akankah baik-baik saja alam semesta ini, setidaknya saya berfikir bahwa hidup saya sangat amatlah berguna bagi alam semesta ini. Tanpa adanya saya, bumi dan banyak komponen di dalamnya ada yang tak berguna. Karena itu jatah saya, dan selayaknya seseorang yang sudah di beri jatah dia menerima jatah tersebut dan menikmatinya.

Orang pintar adalah orang yang bodoh karena dia tidak menuruti dirinya, dan kebalikan orang pintar adalah orang yang bodoh karena dia melupakan dirinya. Rasanya ingin berlari dan mencari. Namun ketika berjalan, diri ini mengajak untuk berdiri dan bernyanyi. Sesudah bernyanyi, diri ini ingin menari. Ketika dituruti, diri ini membawa untuk melantunkan melodi dan semuanya berjalan semulus itu. Kehampaan yang dirasakan adalah keramaian yang terjadi nyata di dalam hidup seorang insan. Sedangkan keramaian yang ada adalah kehampaan yang semu di hadapan insan. Soal rasa memang beda tapi kita sepakat bahwa terjatuh dari atas pohon itu sangat amat lah menyakitkan.


Oleh: Garry Satrio Nuswantoro (Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama