Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama Indonesia betaraf
internasional karena menjadi Imam Masjidil Haram di Saudi Arabia. Beliau adalah
seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis kitab dan menghasilkan
ratusan karya. Ia memiliki nama Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin
Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani al-Tanara al-Syafi’i al-Qadari. Lahir pada
tahun 1813 di kampung Tanara, Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten
Serang, Banten. Ayahnya, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani merupakan seorang
tokoh karismatik yang disegani, karena disamping sebagai seorang ulama yang
memimpin pesantren di Tarana, ia juga masih keturunan bangsawan yang taat
beragama. Sedangkan ibunya bernama Zubaedah seorang ibu rumah tangga yang
sukses mendidik semua putera-puteranya.
Pendidikan beliau dimulai sejak masa kanak-kanak. Ia dikenal sebagai orang
yang tekun dan ulet dalam mencari ilmu. Bersama saudaranya Ahmad dan Tamin,
beliau belajar ilmu pengetahuan agama Islam dari ayahnya sendiri. Ilmu-Ilmu
yang dipelajari meliputi pengetahuan dasar bahasa Arab (Nahwu dan Sorof), Fiqh,
Tauhid, dan Tafsir. Ia juga belajar kepada Kyai Sahal, seorang ulama terkenal
di daerah Banten. Kemudian dikirim oleh ayahnya ke daerah Purwakarta (Karawang)
untuk melanjutkan studi pada K.H. Yusuf, seorang kyai alim yang muridnya banyak
berasal dari luar Jawa Barat.
Pada usia 15 tahun beliau berkesempatan untuk pergi ke Makkah
menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya dengan bermukim di Tanah Haram untuk belajar Ilmu Kalam, bahasa dan sastra Arab, Ilmu Hadits,
Tafsir dan Ilmu Fiqih. Dengan kecerdasannya, di usia 18 tahun ia telah berhasil menghafal seluruh
Al-Quran. Pada tahun 1833 beliau kembali ke daerahnya dengan khazanah ilmu
keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para
santri. Kedatangannya saat itu membuat
pesantren ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai
pelosok.
Karena pada saat itu pemerintahan sedang tidak kondusif, Syekh
Nawawi hanya bertahan selama kurang lebih dua tahun mengajar di pondok
pesantren, Tarana. Syekh Nawawi Banten sebagai salah seorang keturunan sultan,
sangat terganggu pikirannya menyaksikan kekuasaan kerajaan islam Banten di
rampas oleh kolonial Belanda. Syekh Nawawi menganggap mereka sebagai
pemerintahan kafir. Atas dasar itu, Syekh Nawawi bertekad melakukan perlawanan
terhadap kekuatan pemerintahan Belanda dan becita-cita mengembalikan kejaraan
Islam Banten. Syekh Nawawi lalu memutuskan untuk kembali ke Mekkah sebagai
salah satu strategi perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mengkader
tokoh-tokoh agama yang datang belajar ke Mekkah.
Di lain pihak, Syekh Nawawi juga merasa masih belum cukup
dengan ilmu yang di milikinya. Sejak pertama kali keberadaannya di mekkah,
Syekh Nawawi sudah berguru pada ulama-ulama besar yang terkenal, seperti Syekh
Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, dan Syekh Ahmad al-Nahrawi yang
kesemuanya adalah ulama yang berasal dari kepulauan semenanjung indonesia yang
bermukim disana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyathi tentang ilmu
Tasawuf dan qira’ah juga pada Ahmad Zaini Dahlan dalam bidang ilmu Fiqh dan
Ushulnya, yang keduanya di Mekkah. Sedangkan di Madinah, ia belajar pada
Muhammad Khatib al-Hanbali bidang ilmu Hadis sekaligus menerima beberapa hadis
dengan sanad bersambung hingga Rasulullah SAW. Kemudian ia melanjutkan
pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria), di antaranya
kepada Syekh Ahmad al-Mirshafi, seorang ulama Mesir yang banyak menulis buku
tentang ilmu Tauhid, Hadis, dan Balaghah, juga kepada Syekh Yusuf al-Sunbulawini,
dan Abdul Hamid al-Daghastani.
Di Indonesia, murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam dakwah Islam juga dalam
perjuangan Nasional. Di antaranya adalah K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur (pendiri organisasi Nahdlatul Ulama dan kakek dari mantan Presiden
RI, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gusdur), K.H. Khalil dari Bangkalan, Madura,
Jawa Timur, K.H. Asy’ari dari Bawean, yang menikah dengan puteri Syekh Nawawi
yaitu Nyi Maryam, K.H. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, Banten
yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah binti Rokayah binti
Nawawi, K.H.Tubagus Muhammad Asnawi dari Ciringin, Labuhan, Pandeglang, Banten,
K.H. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten, K.H. Abdul
Gaffar dari Kampung Lampung, Tirtayasa, Serang, Banten, K.H. Tubagus Bakri dari
Sempur, Purwakarta, Jawa Barat. Ada pula yang berasal dari Malaysia seperti
K.H. Dawud (perak). Murid-murid lainnya adalah Syekh Ahmad Khattib al-Minangkabau,
Syekh Abd al-Hamid Quds, Syekh Abd al-Sattar al-Dihwali, dan Syekh Said
al-Yamani.
Hampir seluruh karya beliau yang tersusun dalam bahasa
Arab hingga kini masih menjadi bahan pengkajian di banyak pesantren di tanah
air. Di samping itu, karya-karyanya juga banyak digunakan di Timur Tengah. Oleh
para peneliti di kemukakan bahwa salah satu keistimewaan dari karya-karya
beliau adalah keluasan isinya kelugasan bahasanya sehingga mudah dimengerti dan
mampu menjelaskan istilah yang sulit, serta kemampuannya menghidupkan isi
karyanya sehingga dapat di jiwai oleh para pembacanya. Di antara nama-nama
kitab yang penah di tulis oleh beliau salah satunya di bidang Tafsir yaitu Marah
Labid li Kasyfi ma’na al-Quran majid lalu di namai juga al-Tafsir al-Munir li
Ma’alim al-Tanzil. Di Indonesia lebih terkenal dengan nama al-Tafsir al-Munir.
Karya ini tercatat sebagai salah satu karya tafsir di dalam dunia islam yang
ditulis pada abad 19 masehi selain tafsir al-Manar karangan Syekh Muhammad
Abduh dari Mesir. Kitab ini adalah kitab tafsir nusantara kedua yang di tulis
lengkap 30 juz setelah tafsir Turjuman al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf
as-Sinkili (1693). Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dari surah
Al Fatihah sampai Al Kahfi berjumlah 672 halaman, sedangkan jilid kedua terdiri
dari surah Maryam sampai surah An-Nas berjumlah 695 halaman.
Dalam menulis kitab tafsir ini, Syekh Nawawi cenderung
menggunakan metode ijmali (global) yang tergolong sebagai tafsir bil Ma’tsur.
Kitab ini juga merupakan tafsir yang ringkas penjelasannya dimana penulisnya
menganggap penting untuk tidak keluar dari alur konteks lafadz, menjelaskan makna dan tafsirnya,
menyebutkan riwayat Qira’at, keutamaan membacanya, menyebutkan riwayat-riwayat
asal yang membantu pemahaman makna serta menyebut Asbabun Nuzul.
Setelah mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Mekkah,
Syekh Nawawi meninggal dunia pada tahun 1897 atau 25 Syawal tahun 1314 H. Syekh
Nawawi kemudian di makamkan di Jannatul Mu’alla, Mekkah yang bersebelahan dengan
makam anak perempuannya. Meski meninggal dunia di Mekkah, setiap tahunnya
selalu di adakan haul atau peringatan meninggalnya Syekh Nawawi al-Bantani di
pondok pesantren An-Nawawi di Tanara, Serang.
Oleh: Nazilah
Nuril Farikhah (Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2022)