Di Bawah Jalan Hati


Hujan di pagi hari membuatku betah berlama-lama diatas sajadah cokelat tua milik bapak, sambil mendengarkan lantunan suara bapak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang abadi dan tak terbantahkan, seperti keyakinanku terhadap Tuhan. “Seharusnya aku tidur, kantuk ini kutahan untuk menjalankan titah Tuhanku, ya... Sepertiga malam yang fenomenal akan mustajabnya, seperti inikah Tuhan memberikan iming-iming surga dan neraka, agar kita taat?” batinku berucap.



Namun kelopak mata yang mungil ini tidak sanggup tuk berdusta dengan syahdunya angin malam, walaupun sudah terombang-ambing ombak wudhu. Di dalam tidur yang dusta itu, aku merasa kacau balau. Sehingga termenunglah ketika terbangun dari tidur. “Hahaha kenapa?” bisik ku pada diriku sendiri.

“Seperti ditinggalkan Tuhan rasanya, feeling lonely dalam spiritualitas. Mengapa semakin aku mengagumi teori dan menuhankan akal sendiri, Tuhan semakin terkucilkan?” lirih suaraku, bertanya kepada pikiran kosong. “Mungkin hanya perasaanku saja. Tapi apakah seperti itu Freud menjadi ateis? Sepertinya tidak demikian. Sependek pengetahuanku ateisme dapat dicapai ketika seseorang memahami seluruh Tuhan. Karena untuk mengklaim sesuatu itu tidak ada, maka perlu pembuktian yang konkret. Bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Saat ini mungkin banyak orang yang mengakui bahwa dirinya seorang penganut ateisme, tanpa mengerti apa itu ateisme. Ya sudahlah.” ucapku mengakhiri pikiran yang berkecamuk.

Di belakang bapak, aku mengamini doa-doanya, lirih aku mendengarnya merintih, bapak berdoa dengan bahasa Jawa kromo.

“Duh Gusti, Dzat ingkang paling agung saking samukawis ingkang wonten ing ngalam donya punika, Dzat ingkang nguwasani langit lan bumi. Namung dhumateng Paduko kulo nyuwun, lan panyuwun kula dhumateng Paduka punika minangka buktos bilih kula punika abdining Paduka. Panyuwun kula namung setunggal, monggo danguaken iman, ihsan, lan Islam kulo.” meminta kepada-Nya dengan tangis seorang budak kepada majikannya yang meminta agar dimerdekakan.

Tersadarkan ternyata aku adalah orang yang jarang berdoa, bapak sering berujar kepadaku “doa adalah bentuk pengakuan seorang hamba kepada Tuhan-Nya, jika dia tidak berdoa, maka kesombongan akan lahir dalam hatinya.” memang betul petuah itu, yang aku rasakan saat ini adalah kekuatan diriku sendiri, aku merasa Tuhan tidak ikut campur terhadap apa yang kulaksanakan. Ini adalah mutlak keinginanku pribadi, ini adalah kesombongan.

Bapak berbalik badan dari doanya kehadapanku, dan menanyakanku perihal kehidupan.

“Apa yang kamu pahami nak, tentang penderitaan?”

“Derita akan datang kepada siapapun dan dimanapun. Derita menjadi ada karena ekspektasi yang melampaui batas, merasa bisa mengontrol segalanya, padahal hal di depan mata dilupakan. Adanya derita tidak lain adalah untuk menyadarkan manusia.”

“Ingatlah nak! Derita itu merupakan perpaduan antara amal baik dan amal buruk” ucapnya menambahi argumenku. Lalu dia membaca surat At-Taubah ayat 102 

وَاٰخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلًا صَالِحًا وَّاٰخَرَ سَيِّئًاۗ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ



“Itulah derita yang sesungguhnya nak, Ketidakpastian seorang hamba terhadap perbuatannya, baik dan buruk dicampur adukannya. Kita adalah manusia yang dimaklumi kesalahannya, namun bukan berarti wajar jika saja kita melakukan kesalahan. Salah dan benar memang di tangan Tuhan, namun syariat Tuhan memberikan petunjuk jalan untuk kebenaran yang sejati.” pungkasnya di sepertiga malam.

Aku pun terdiam sambil memikirkan apa yang dijelaskan oleh bapak. Dan menanyakan kepadanya perihal cinta.

“Lalu apa itu cinta, akankah ada derita atas nama cinta?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Aku melihat matanya berbinar rindu dengan sang kekasih, raut mukanya berbaur hangat dengan angin subuh. Sambil menunggu adzan berkumandang, berbincang kasih dengan bapak adalah hal terindah dalam hidupku.

Dan dia menjawabnya dengan tenang, “Wahai anakku, cinta itu ada di sini,” ujarnya sambil menyentuhkan jarinya ke dadaku. Sentuhannya terasa hangat, seolah mengalirkan keyakinan bahwa cinta memang selalu bersemayam di hati.

“Cinta tidak pernah menjadi sumber derita, nak. Ia adalah kebaikan murni,” gumamnya, nyaris seperti doa di penghujung malam. Kalimat itu menjadi penutup sempurna sebelum keheningan menyelimuti kami sepenuhnya.

Di keheningan malam, aku bermelodi dengan sajak kasih. Menggambarkan cinta tanpa derita, salah satu puisi Maulana Rumi yang diterjemahkan oleh Fragger mengingatkanku akan kekuatan cinta:

Sejak kudengar dunia Cinta

Kuserahkan hidupku, hatiku

dan mataku di jalan ini

Mulanya, aku menyakini bahwa cinta

dan yang dicintai adalah berbeda

Kini, kupahami mereka adalah sama

Aku melihat keduanya dalam kesatuan.

Penulis: Fara Ulya (Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi)

Editor: Farah Putri

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama